Sabtu, 20 Juli 2013

KASUS KONTROL

 PENDAHULUAN

Penelitian kasus-kontrol (case-control study), atau yang sering juga disebut sebagai case-comparison study, case-compeer study, case-referent study, atau retrospective study, merupakan penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus-kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besar peran faktor risiko dalam kejadian penyakit (cause-effect relationship), seperti hubungan antara kejadian kanker serviks dengan perilaku seksual, hubungan antara tuberkulosis pada anak dengan vaksinasi BCG, atau hubungan antara status gizi bayi berusia 1 tahun dengan pemakaian KB suntik pada ibu.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­Dalam hal kekuatan hubungan sebab akibat, studi kasus-kontrol ada di bawah desain eksperimental dan studi kohort, namun lebih kuat daripada studi cross-sectional, karena pada studi kasus-kontrol terdapat dimensi waktu, sedangkan studi cross-sectional tidak. Desain kasus-kontrol mempunyai berbagai kelemahan, namun juga memiliki beberapa keuntungan. Dengan perencanaan yang baik, pelaksanaan yang cermat, serta analisis yang tepat, studi kasus-kontrol dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam berbagai bidang kedokteran klinik, terutama untuk penyakit-penyakit yang jarang ditemukan.

DEFINISI
 
Penelitian kasus-kontrol adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif, dimulai dengan mengidentifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (kelompok kasus) dan kelompok tanpa efek (kelompok kontrol), kemudian diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan mengapa kelompok kasus terkena efek, sedangkan kelompok kontrol tidak. 1,3,4,5 Desain penelitian ini bertujuan mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Jadi, hipotesis yang diajukan adalah : Pasien penyakit x lebih sering mendapat pajanan faktor risiko Y dibandingkan dengan mereka yang tidak berpenyakit X. Pertenyaan yang perlu dijawab dengan penelitian ini adalah : apakah ada asosiasi antara variabel efek (penyakit, atau keadaan lain) dengan variabel lain (yang diduga mempengaruhi terjadi penyakit tersebut) pada populasi yang diteliti.



LANGKAH-LANGKAH PADA PENELITIAN KASUS-KONTROL
Tahapan kegiatan dalam penelitian kasus-kontrol adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan Pertanyaan Penelitian dan Hipotesis yang Sesuai
Dari pertanyaan penelitian dapat disusun hipotesis penelitian yang akan diuji  validitasnya secara empiris.
2.      Mendeskripsikan dan Mengidentifikasi Variabel Penelitian
 Intensitas pajanan faktor risiko dapat dinilai dengan cara mengukur dosis, frekuensi,  atau lamanya pajanan.
 Ukuran pajanan terhadap faktor risiko yang berhubungan dengan frekuensi dapat besifat :
 • Dikotom, yaitu bila hanya terdapat dua kategori, misalnya pernah minum jamu peluntur atau tidak 
• Polikotom, pajanan diukur pada lebih dari dua tingkat, misalnya tidak pernah, kadang-kadang, atau sering terpajan
• Kontinu, pajanan diukur dalam skala kontinu atau numerik, misalnya umur dalam tahun, paritas, berat lahir

Ukuran pajanan yang berhubungan dengan waktu dapat berupa :
• Lamanya pajanan (misalnya jumlah bulan pemakaian AKDR) dan apakah pajanan itu berlangsung terus-menerus)
• Saat mendapat pajanan pertama
• Bilakah terjadi pajanan terakhir

3.      Menentukan Populasi Terjangkau dan Sampel (Kasus, Kontrol) serta Cara Pemilihan Subyek Penelitian
Kelompok kasus adalah kelompok individu yang menderita penyakit yang akan diteliti dan ikut dalam proses penelitian sebagai subyek studi. Sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok individu yang sehat atau tidak menderita penyakit yang akan diteliti, tetapi mempunyai peluang yang sama dengan kelompok kasus karena terpajan oleh faktor risiko yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit.
Cara terbaik untuk memilih kasus adalah dengan mengambil secara acak subyek dari populasi yang menderita efek. Namun dalam praktek, hal ini hampir tidak mungkin dilaksanakan karena penelitian kasus-kontrol lebih sering dilakukan pada kasus yang jarang yang diagnosisnya biasanya ditegakkan di rumah sakit.

Beberapa hal berikut ini perlu dipertimbangkan dengan cermat dalam pemilihan kasus untuk studi kasus-kontrol:
a.     Kasus insidens (baru) atau kasus prevalens (baru + lama)
b.      Tempat pengumpulan kasus
c.        Saat diagnosis
Sementara itu, pemilihan kontrol semata-mata ditentukan oleh peneliti sehingga sangat terancam bias. Kelompok kontrol harus berasal dari populasi yang sama dengan kasus dan didasarkan pada kesamaan dengan karakteristik subyek pada kasus, sehingga mempunyai kesempatan yang sama untuk terpajan oleh faktor risiko yang diteliti. 1,3,5
Ada beberapa cara untuk memilih kontrol yang baik :
a. Memilih kasus dan kontrol dari populasi yang sama
b. Memilih kontrol dengan karakteristik yang sama dengan kasus dalam semua variabel yang mungkin berperan sebagai faktor risiko kecuali variabel yang diteliti (matching)
c. Memilih lebih dari satu kelompok kontrol


Pada dasarnya untuk penelitian kasus-kontrol jumlah subyek yang akan diteliti bergantung kepada :
a. Berapa besar densitas pajanan faktor risiko pada populasi. Bila densitas pajanan faktor risiko terlalu kecil atau terlalu besar, maka kemungkinan pajanan risiko pada kasus dan kontrol hampir sama dan diperlukan sampel yang cukup besar untuk mengetahui perbedaannya.
b. Rasio odds terkecil yang dianggap bermakna (R).
c. Derajat kemaknaan (kesalahan tipe I,a) dan kekuatan (power=1-b) yang dipilih. Biasanya dipilih a=5%, b=10% atau 20% (power=90% atau 80%).
d. Rasio (perbandingan) antara jumlah kasus dan kontrol. Dengan memilih kontrol lebih banyak, maka jumlah kasus dapat dikurangi. Bila jumlah kontrol diambil c kali, maka jumlah kasus dapat dikurangi dari n menjadi (c+1)n/2c.
e. Apakah pemilihan kontrol dilakukan dengan matching atau tidak. Dengan melakukan matching, jumlah subyek yang diperlukan menjadi lebih sedikit.
4.      Melakukan Pengukuran Variabel Efek dan Faktor Risiko
Pengukuran terhadap variabel yang dipelajari (efek dan faktor risiko) merupakan hal yang sentral pada studi kasus kontrol. Penentuan efek harus sudah didefinisikan dalam usulan penelitian. Pengukuran faktor risiko atau pajanan yang terjadi di waktu lampau melalui anamnesis (recall) semata-mata mengandalkan daya ingat responden. Bias yang dapat mengancam dalam konteks ini adalah recall bias. 1,3
5.      Menganalisis Data Hasil Penelitian
Analisis hasil studi kasus-kontrol dapat bersifat sederhana yaitu penentuan rasio odds, sampai yang bersifat kompleks yaitu menggunakan analisis multivariat. Ini ditentukan oleh apa yang ingin diteliti, bagaimana cara memilih kontrol (matched atau tidak), dan terdapatnya variabel yang mengganggu atau tidak.
Penentuan Rasio  Odds
A.    Studi kasus-kontrol tanpa matching
Rasio odds (RO) pada studi kasus-kontrol dapat diartikan sama dengan risiko relatif (RR) pada studi kohort. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat kelompok kasus (a+c) dan kelompok kontrol (b+d). Dalam hal ini, yang dapat dinilai adalah berapa sering terdapat pajanan pada kasus dibandingkan pada kontrol, disebut dengan rasio odds (RO).

RO = odds pada kelompok kasus : odds pada kelompok kontrol

(proporsi kasus dengan faktor risiko) / (proporsi kasus tanpa faktor risiko)
----------------------------------------------------------------------------
(proporsi kontroldengan faktor risiko) / (proporsi kontrol tanpa faktor risiko)

B.     Studi kasus-kontrol dengan matching
Pada studi kasus-kontrol dengan matching individual, harus dilakukan analisis dengan menjadikan kasus dan kontrol sebagai pasangan-pasangan. Hasil pengamatan studi kasus-kontrol biasanya disusun dalam tabel 2 x 2 dengan keterangan sebagai berikut :


Sel a : kasus mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Sel b : kasus mengalami pajanan, kontrol tidak mengalami pajanan
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, kontrol mengalami pajanan
Sel d : kasus dan kontrol tidak mengalami pajanan
Kontrol
Kasus Risiko + Risiko -
Risiko + a b
Risiko - c d


Rasio odds pada studi kasus-kontrol dengan matching ini dihitung dengan mengabaikan sel a karena baik kelompok kasus maupun kontrolnya terpajan, dan sel d karena baik kelompok kasus maupun kontrolnya tidak terpajan. Rasio odds dihitung dengan formula :

RO = b / c
RO dapat dianggap mrndekati risiko relatif apabila :
1. Insidens penyakit yang diteliti kecil, tidak lebih dari 20% populasi terpajan
2. Kelompok kontrol merupakan kelompok representatif dari populasi dalam hal peluangnya untuk terpajan faktor risiko
3. Kelompok kasus harus representatif
RO > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti memang merupakan faktor risiko, bila RO = 1 atau mencakup angka 1 berarti bukan merupakan faktor risiko, dan bila RO < par =" p(r-1)+1" p =" proporsi" r =" rasio"> 1

BIAS DALAM STUDI KASUS KONTROL

Bias merupakan kesalahan sistematis yang menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai dengan kenyataan. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat tiga kelompok bias yang dapat mempengaruhi hasil, yaitu :
a. Bias seleksi
b. Bias informasi
c. Bias perancu (confounding bias)

Sackett* mencatat beberapa hal yang dapat menyebabkan bias, di antaranya adalah :
1.      Informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu (confounding factors) mungkin terlupa oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam catatan medik kasus (recall bias)
2.      Subyek yang terkena efek (kasus), karena ingin mengetahui penyebab penyakitnya lebih sering melaporkan faktor risiko dibandingkan dengan subyek yang tidak terkena efek (kontrol)
3.      Peneliti kadang sukar menentukan dengan tepat apakah pajanan suatu agen menyebabkan penyakit ataukah terdapatnya penyakit menyebabkan subyek lebih terpajan oleh agen
4.      Identifikasi subyek sebagai kasus maupun kontrol yang representatif seringkali sangat sukar

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENELITIAN KASUS KONTROL

Kelebihan
1.      Studi kasus kontrol kadang atau bahkan menjadi satu-satunya cara untuk meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang, atau bila penelitian prospektif tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber atau hasil diperlukan secepatnya.
2.      Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
3.      Biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit sehingga lebih efisien.
4.      Memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor risiko sekaligus dalam satu penelitian (bila faktor risiko tidak diketahui).
5.      Tidak mengalami kendala etik seperti pada penelitian eksperimen atau kohort.
Kelemahan
1.      Data mengenai pajanan faktor risiko diperoleh dengan mengandalkan daya ingat atau catatan medik. Daya ingat responden menyebabkan terjadinya recall bias, baik karena lupa atau responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan faktor risiko daripada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam hal ini catatan medik rutin yang sering dipakai sebagai sumber data juga tidak begitu akurat (objektivitas dan reliabilitas pengukuran variabel yang kurang).
2.      Validasi informasi terkadang sukar diperoleh.
3.      Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok kasus dan kontrol sebanding karena banyaknya faktor eksternal / faktor penyerta dan sumber bias lainnya yang sukar dikendalikan.
4.      Tidak dapat memberikan incidence rates karena proporsi kasus dalam penelitian tidak mewakili proporsi orang dengan penyakit tersebut dalam populasi.
5.      Tidak dapat dipakai untuk menentukan lebih dari satu variabel dependen, hanya berkaitan dengan satu penyakit atau efek.
6.      Tidak dapat dilakukan untuk penelitian evaluasi hasil pengobatan.


Rabu, 06 Februari 2013

KEKURANGAN ENERGI KRONIS PADA IBU HAMIL

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang
 
        Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/MDGs, 2000) pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada tahun 2015.

       Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain Kurang Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%).
Ibu hamil yang mengalami KEK sekitar 27,6 % (susenas,1999) serta dampak buruk yang ditimbulkan akibat terjadinya gizi kurang pada ibu hamil maka hal ini perlu kiranya mendapat perhatian serius dari pemerintah.

       Berdasarkan hasil survei Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003 prevalensi ibu hamil yang mengalami KEK di Jawa Barat adalah 14,30 % serta di DKI Jakarta sekitar 13,91 %.
Ibu hamil diketahui menderita KEK dilihat dari pengukuran LILA, adapun ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan resiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai resiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lebih rendah (BBLR). BBLR mempunyai resiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak.

          Pada dewasa ini pemerintah telah mengupayakan pemberian PMT bagi ibu hamil melalui puskesmas serta tempat pelayanan kesehatan lainnya agar msalah gannguan gizi ini dapat ditanggulangi agar dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas maternal sehingga tercapainya ggenerasi penerus yang sehat demi terwujudnya Indonesia Sehat 2015.
Selama penulis praktek lapangan di Puskesmas Rawang Kecamatan Padang Selatan, satu bulan lamanya dari 110 orang ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC dari tanggal 7 Mei 2012 sampai 2 Juni 2012 ditemukan ibu hamil dengan KEK sebanyak orang 26 orang.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat kasus KEK ini untuk diseminarkan pada hari jum’at tanggal 1 Juni 2012.

  1.2    Tujuan 
 
a.    Mengetahui pengertian KEK pada ibu hamil
b.    Mengetahui tanda dan gejala dari KEK pada ibu hamil
c.    Mengetahui  penyebab terjadinya KEK pada ibu hamil
d.    Mengetahui cara penanggulangan KEK pada ibu hamil.


 

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1    Defenisi
 
        Menurut Depkes RI (2002) dalam Program Perbaikan Gizi Makro menyatakan bahwa Kurang Energi Kronis merupakan keadaan dimana ibu penderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. KEK dapat terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil).

      KEK adalah penyebabnya dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).
Istilah KEK atau kurang energi kronik merupakan istilah lain dari Kurang Energi Protein (KEP) yang diperuntukkan untuk wanita yang kurus dan lemak akibat kurang energi yang kronis. Definisi ini diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO).

        Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun. Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA <23,5 cm.

  2.2    Etiologi
 
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi KEK

2.2.1    Faktor Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi ini terdiri dari:


a.    Pendapatan Keluarga
     Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makanan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk makan, sedangkan dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan.
      Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh, dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayuran dan beberapa jenis makanan lainnya


b.    Pendidikan Ibu
     Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan / informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik.

c.    Faktor Pola Konsumsi
    Pola makanan masyarakat Indonesia pada umumnya mengandung sumber besi heme (hewani) yang rendah dan tinggi sumber besi non heme (nabati), menu makanan juga banyak mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).

d.    Faktor Perilaku
      Kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pada umumnya wanita lebih memberikan perhatian khusus pada kepala keluarga dan anak-anaknya. Ibu hamil harus mengkonsumsi kalori paling sedikit 3000 kalori / hari Jika ibu tidak punya kebiasaan buruk seperti merokok, pecandu dsb, maka status gizi bayi yang kelak dilahirkannya juga baik dan sebaliknya (Arisman, 2007).


2.2.2 Faktor Biologis

Faktor biologis ini diantaranya terdiri dari :

2.2.2.1    Usia Ibu Hamil
            Melahirkan anak pada usia ibu yang muda atau terlalu tua mengakibatkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu (Baliwati, 2004: 3). Karena pada ibu yang terlalu muda (kurang dari 20 tahun) dapat terjadi kompetisi makanan antara janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa pertumbuhan dan adanya perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan (Soetjiningsih, 1995: 96). Sehingga usia yang paling baik adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun, sehingga diharapkan status gizi ibu hamil akan lebih baik.

2.2.2.2    Jarak Kehamilan
            Ibu dikatakan terlalu sering melahirkan bila jaraknya kurang dari 2 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa apabila keluarga dapat mengatur jarak antara kelahiran anaknya lebih dari 2 tahun maka anak akan memiliki probabilitas hidup lebih tinggi dan kondisi anaknya lebih sehat dibanding anak dengan jarak kelahiran dibawah 2 tahun. (Aguswilopo, 2004 : 5).
           Jarak melahirkan yang terlalu dekat akan menyebabkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu. Ibu tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki tubuhnya sendiri (ibu memerlukan energi yang cukup untuk memulihkan keadaan setelah melahirkan anaknya). Dengan mengandung kembali maka akan menimbulkan masalah gizi ibu dan janin/bayi berikut yang dikandung. (Baliwati, 2004 : 3).

2.2.2.3    Paritas
Paritas adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viable). (Mochtar, 1998). Paritas diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    Primipara adalah seorang wanita yang telah pernah melahirkan satu kali dengan janin yang telah mencapai batas viabilitas, tanpa mengingat janinnya hidup atau mati pada waktu lahir.
2.    Multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami dua atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah mencapai batas viabilitas.
3.    Grande multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami lima atau lebih kehamilan yang berakhir pada saat janin telah mencapai batas viabilitas.
Kehamilan dengan jarak pendek dengan kehamilan sebelumnya kurang dari 2 tahun / kehamilan yang terlalu sering dapat menyebabkan gizi kurang karena dapat menguras cadangan zat gizi tubuh serta organ reproduksi belum kembali sempurna seperti sebelum masa kehamilan (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).


2.2.2.4    Berat Badan Selama Hamil .
Berat badan yang lebih ataupun kurang dari pada berat badan rata-rata untuk umur tertentu merupakan faktor untuk menentukan jumlah zat makanan yang harus diberikan agar kehamilannya berjalan dengan lancar. Di Negara maju pertambahan berat badan selama hamil sekitar 12-14 kg.
Jika ibu kekurangan gizi pertambahannya hanya 7-8 kg dengan akibat akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah ( Erna, dkk, 2004 ).
Pertambahan berat badan selama  hamil sekitar 10 – 12 kg, dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin.

  2.3    Tanda dan gejala 
 
2.3.1    Lingkar lengan atas sebelah kiri kurang dari 23,5 cm.
2.3.2    Kurang cekatan dalam bekerja.
2.3.3    Sering terlihat lemah, letih, lesu, dan lunglai.
2.3.4    Jika hamil cenderung akan melahirkan anak secara prematur atau jika lahir secara normal bayi yang dilahirkan biasanya berat badan lahirnya rendah atau kurang dari 2.500 gram.

  2.4    Dampak yang ditimbulkan
 
2.4.1    Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: Anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal dan terkena penyakit infeksi. Sehingga akan meningkatkan kematian ibu (Zulhaida, 2003).
2.4.2    Persalinan
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan prematur / sebelum waktunya, perdarahan post partum, serta persalinan dengan tindakan operasi cesar cenderung meningkat (Zulhaida, 2003).
2.4.3    Janin
Kurang gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, asfiksia intra partum, lahir dengan berat badan rendah (BBLR) (Zulhaida, 2003).

  2.5    Pengukuran Status Gizi 
 
Dapat dilakukan melalui empat cara yaitu secara klinis, biokimia, biofisik, dan antropometri.
2.5.1    Penilaian secara klinis
Penilaian status gizi secara klinis sangat penting sebagai langkah pertama dalam mengetahui keadaan gizi penduduk. Karena hasil penilaian dapat memberikan gambaran masalah gizi yang nampak nyata.
2.5.2    Penilaian secara biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia di lapangan banyak menghadapi masalah. Salah satu ukuran yang sangat sederhana dan sering digunakan adalah pemeriksaan haemoglobin sebagai indeks dari anemia gizi.
2.5.3    Penilaian secara biofisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat tanda dan gejala kurang gizi. Dilakukan oleh dokter atau petugas kesehatan atau yang berpengalaman dengan memperhatikan rambut, mata, lidah, tegangan otot dan bagian tubuh lainnya.
2.5.4    Penilaian secara antropometri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ukuran fisik seseorang sangat erat berhubungan dengan status gizi. Atas dasar-dasar ini ukuran-ukuran antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi untuk negara-negara berkembang.
Untuk mengetahui status gizi ibu hamil digunakan pengukuran secara langsung dengan menggunakan penilaian antropometri yaitu: Lingkar Lengan Atas. Pengukuran lingkar lengan atas adalah suatu cara untuk mengetahui risiko KEK wanita usia subur (Supariasa, 2002 : 48). Wanita usia subur adalah wanita dengan usia 15 sampai dengan 45 tahun yang meliputi remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur (PUS).
Ambang batas lingkar Lengan Atas (LILA) pada WUS dengan risiko KEK adalah 23,5 cm, yang diukur dengan menggunakan pita ukur. Apabila LILA kurang dari 23,5 cm artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan sebaliknya apabila LILA lebih dari 23,5 cm berarti wanita itu tidak berisiko dan dianjurkan untuk tetap mempertahankan keadaan tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1.    Pengukuran dilakukan di bagian tengah antara bahu dan siku lengan kiri.
2.    Lengan harus dalam posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau kencang.
3.    Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau sudah dilipat-lipat, sehingga permukaannya sudah tidak rata.

2.6    Upaya Penanggulangan Yang Dilakukan
 
2.6.1 KIE mengenai KEK dan faktor yang mempengaruhinya serta bagaimana menanggulanginya.
2.6.2    PMT Bumil diharapkan agar diberikan kepada semua ibu hamil yang ada.
        Kondisi KEK pada ibu hamil harus segera di tindak lanjuti sebelum usia kehamilan mencapai 16 minggu. Pemberian makanan tambahan yang Tinggi Kalori dan Tinggi Protein dan dipadukan dengan penerapan Porsi Kecil tapi Sering, pada faktanya memang berhasil menekan angka kejadian BBLR di Indonesia. Penambahan 200 – 450 Kalori dan 12 – 20 gram protein dari kebutuhan ibu adalah angka yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi janin.
2.6.3    Konsumsi tablet Fe selama hamil.
         Kebutuhan bumil terhadap energi, vitamin maupun mineral meningkat sesuai dengan perubahan fisiologis ibu terutama pada akhir trimester kedua dimana terjadi proses hemodelusi yang menyebabkan terjadinya peningkatan volume darah dan mempengaruhi konsentrasi hemoglobin darah.
          Pada keadaan normal hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian tablet besi, akan tetapi pada keadaan gizi kurang bukan saja membutuhkan suplemen energi juga membutuhkan suplemen vitamin dan zat besi. Keperluan yang meningkat pada masa kehamilan, rendahnya asupan protein hewani serta tingginya konsumsi serat / kandungan fitat dari tumbuh-tumbuhan serta protein nabati merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya anemia besi.

  2.7    Pencegahan
 
2.7.1    Pemberdayaan ekonomi masyarakat sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, terutama dalam mencukupi kebutuhan akan makanan bergizi.
2.7.2    Memberikan pengertian bagi mereka dengan profesi yang menuntut memiliki tubuh kurus tentang bahaya tubuh yang terlalu kurus apalagi jika mereka menguruskan badan dengan cara tidak lazim, seperti anoreksia atau bulimia

  2.8    Cara Mengatasi Resiko KEK
 
         Cara Mengetahui Risiko Kekurangan Energi Kronis (Kek) Dengan Menggunakan Pengukuran Lila :
  2.8.1    Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA)
            LILA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) wanita usia subur termasuk remaja putri. Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek.
2.8.2    Pengukuran dilakukan dengan pita LILA dan ditandai dengan sentimeter, dengan batas ambang 23,5 cm (batas antara merah dan putih).
Apabila tidak tersedia pita LILA dapat digunakan pita sentimeter/metlin yang biasa dipakai penjahit pakaian. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau di bagian merah pita LILA, artinya remaja putri mempunyai risiko KEK.
Bila remaja putri menderita risiko KEK segera dirujuk ke puskesmas/sarana kesehatan lain untuk mengetahui apakah remaja putri tersebut menderita KEK dengan mengukur IMT. Selain itu remaja putri tersebut harus meningkatkan konsumsi makanan yang beraneka ragam.

  2.9    Deteksi dini Kurang Energi Kronis (KEK)
 
2.9.1    Dilakukan setiap tahun dengan mengukur Lingkar Lengan Kiri Atas (LILA) dengan memakai pita LILA.
2.9.2    Pada Remaja Putri/Wanita yang LILA-nya <23,5 cm berarti menderita Risiko Kurang Energi Kronis (KEK), yang harus dirujuk ke Puskesmas/ sarana pelayanan kesehatan lain, untuk mendapatkan konseling dan pengobatan.
2.9.3    Pengukuran LILA dapat dilakukan oleh Remaja Putri atau wanita itu sendiri, kader atau pendidik. Selanjutnya konseling dapat dilakukan oleh petugas gizi di Puskesmas (Pojok Gizi), sarana kesehatan lain atau petugas kesehatan/gizi yang datang ke sekolah, pesantren dan tempat kerja.

 
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
 
     Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun. Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA <23,5 cm.
Ibu Hamil yang menderita KEK sangat beresiko melahirkan BBLR dimana berat bayi kurang dari 2500 gram. Cara pencegahan KEK adalah dengan mengkonsumsi berbagai makanan bergizi seimbang dengan pola makan yang sehat.

  3.2 Saran
 
     Disarankan kepada petugas kesehatan untuk meningkatkan program penyuluhan tentang gizi seimbang dan bagi remaja lebih meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung sumser zat besi seperti sayuran hijau,potein hewani(susu, daging,telur) dan penambahan suplemen zat besi. Dan untuk para pembaca sebaiknya juga memperhatikan gizi dan pola makan sehari-harinya.

 
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. Direktorat Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 1996.  Pedoman

Penanggulangan Ibu Hamil Kekurangan Enargi Kronis.  Jakarta.

Depkes RI. 1997.  Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995.  Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.  Jakarta.

Saraswati, E. 1998.  Resiko Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK) dan Anemia untuk 
melahirkan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).  Penelitian Gizi dan Makanan jilid 21.


http://sendyfemale.blogspot.com/2012/06/bab-i-pendahuluan-1_26.html