BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pemakaian
pestisida sering di lakukan untuk membasmi hama tanaman, akan tetapi pemakaian
pestisada tersebut mempunyai dampak
negatif terhadap organisme non target salah satunya paparan pestisida pada
petani penyemprot. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot disebabkan
oleh beberapa factor determinan, yaitu perilaku (pengetahuan, sikap dan
praktek) petani penyemprot, frekuensi penyemprotan, selang waktu kontak
penyemprotan, pemakaian alat pelindung diri, dosis pestisida dan lama
penyemprotan. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprotan dapat
diketahui melalui pengukuran kadar kolinesterase darah.
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor determinan di atas terhadap
kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot. Penelitian ini merupakan explanatory research dan dilakukan
dengan metode survey cross sectional . Populasi pada penelitian ini adalah
semua petani yang menyemprot tanamanannya dengan pestisida yaitu sebanyak 60
orang petani penyemprot. Sedangkan sampel penelitian adalah seluruh populasi
yang memenuhi kriteria inklusi yaitu akfit dalam menyemprot dan mempunyai
selang waktu kontak paling lama 3 hari yang lalu, yang berjumlah 33 orang.
Pestisida
merupakan racun yang mempunyai nilai ekonomi bagi petani (economic poisons). Diharapkan pestisida tersebut memiliki kemampuan
membasmi organisme selektif (target
organisme), tetapi pada prakteknya pemakaian pestisida dapat menimbulkan
bahaya pada organism non target. Dampak negatit terhadap organism non target
itu meliputi dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran, terdapatnya residu
pestisida terhadap tanaman, serta menimbulkan keracunan bahkan dapat
menimbulkan kematian terhadap manusia (Short, 1996, Derache, 1977)
Pada umumnya jenis pestisida yang biasa di gunakan adalah
golongan organofosfat dan karbamat, memingat jenis dan golongan pestisida ini
dapat mengurangi penguraian oleh unsur alam. Namun demikian
golongan ini sangat mudah terabsorbsi pada saluran cerna, saluran pernapasan,
atau melalui kulit. Pekerjaan yang mempunyai resiko besar adalah petani
penyemprot. Banyaknya kasus keracunan pada petani penyemprot, pada umumnya di
sebabkan karna petani tidak mengetahui efek paparan pestisida, yaitu dapat
menimbulkan efek muskarinik dan nikotonik sebagai akibat terhambatnya kerja
kolinesterase pada ujung saraf perifer, ganglion dan otak (santoso, 2001).
Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi
keracunan tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan, yaitu antara 8,5%
sampai 50 %. Dengan demikian, dapat diperkirakan prevalensi angka keracunan
tingkat sedang pada para petani bisa mencapai angka puluhan juta pada musim
penyemprotan. Faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat antara lain umur,
jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan , pendidikan, pemakaian
Alat Pelindung Diri, status gizi dan praktek penanganan pestisida. Sedangkan
fase kritis yang harus diperhatikan adalah penyimpanan pestisida, pencampuran
pestisida, penggunaan pestisida dan pasca penggunaan pestisida.
1.2
Tujuan
Penulisan dalam makalah ini bertujuan yaitu untuk
menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan
atau paparan pestisida dengan menggunakan pendekatan epidemiologi.
1.3
Manfaat
Adapun manfaat dari
makalah ini yaitu agar kita mengetahui bahaya yang mengancam kesehatan yang di
sebabkan oleh adanya paparan pestisida di lingkungan kita pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pestisida
Menurut
Depkes RI (1990) Kata Pestisida berasal dari rangkaian kata pest yang berarti
hama dan cida atau sida yang berarti membunuh. Dalam PP No 7 tahun 1973
yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut:
1. Memberantas
atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman
atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas
rerumputan.
3. Mematikan
daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur
dan merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman (tidak termasuk
golongan pupuk).
5. Memberantas
atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak.
6. Memberantas
atau mencegah hama-hama air.
7. Memberantas
atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan,
dan dalam alat-alat pengangkutan.
8.
Memberantas
atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia.
2.2 Klasifikasi Pestisida
Pestisida dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifatnya, targetnya/sasaran, cara kerjanya atau
efek keracunan dan berdasarkan stuktur kimianya yaitu:
1.
Berdasarkan
atas sifat pestisida dapat digolongkan menjadi : bentuk padat, bentuk cair,
bentuk asap (aerosol), bentuk gas (fumigan).
2.
Berdasarkan organ targetnya/sasrannya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan
serangga
b.
Herbisida
berfungsi untuk membunuh gulma
c.
Fungisida
berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan
d.
Algasida
berfungsi untuk membunuh alga
e.
Rodentisida
berfungsi untuk membunuh binatang pengerat
f.
Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu
g.
Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri
h.
Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput.
3.
Berdasarkan Cara Kerja atau efek keracunannya dapat
digolongkan sebagai berikut:
a.
Racun kontak adalah membunuh sasarannya bila pestisida
mengenai kulit hewan sasarannya.
b.
Racun perut adalah membunuh sasarannya bila pestisida
tersebut termakan oleh hewan yang bersangkutan.
c.
Fumigan adalah senyawa kimia yang membunuh sasarannya
melalui saluran pernafasan.
d.
Racun sistemik adalah pestisida dapat diisap oleh
tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman itu sendiri di dalam batas waktu
tertentu dapat membunuh serangga yang menghisap atau memakan tanaman tersebut.
4.
Berdasarkan stuktur kimianya pestisida dapat digolongkan
menjadi: golongan organoklorin, golongan organofhosfat, golongan karbamat,
golongan piretroid.
a. Golongan
Organoklorin Merupakan bagian dari kelas
yang lebih luas dari halogenated hydrocarbon, termasuk diantaranya dan terkenal
sebagai penyebab masalah yaitu Polyclorinated biphenyls dan dioxin. Sebagai
kelompok, insektisida organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf
(neurotoxins) yang merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia,
menyebabkan tremor dan kejang-kejang.
b. Golongan
Organofosfat Pestisida golongan organofosfat makin banyak digunakan karena
sifat-sifatnya yang menguntungkan bagi para petani. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten
dalam tanah, dan tidak menyebabkan resisten pada serangga. Bekerja sebagai
racun kontak, racun perut dan juga racun pernapasan. Golongan organofosfat
bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga
asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan
organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan
perangsangan secara terus- menerus pada saraf. Keracunan ini dapat
terjadi melalui mulut, inhalasi dan kulit.
c.
Golongan
Carbamat Menurut Sartono (2002) pestisida golongan carbamat merupakan racun
kontak, racun perut dan racun pernapasan. Bekerja sama seperti golongan organofosfat, yaitu menghambat aktivitas
enzim kolinesterase. Jika terjadi keracunan yang di sebabkan oleh golongan
karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan organofosfat, tetapi lebih
mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak
persisten.
d. Golongan Piretroid Insektisida dari kelompok piretroid merupakan
analog dari piretrum yang menunjukkan efikasi yang lebih tinggi terhadap
serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah
dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat
toksik terhadap ikan, tawon madu dan serangga berguna lainnya. Bekerjanya
terutama secara kontak dan tidak sistemik.
2.3 Patofisiologi
Pestisida
masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara kulit, Pertama absorpsi melalui kulit
berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan,
kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga
mengakibatkan kematian. Ketiga melalui pernafasan dapat berupa bubuk, droplet
atau uap dapat meyebabkan kerusakan serius pada hidung, tenggorokan jika
terhisap cukup banyak. Pestisida
meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja sebagai berikut:
1. Mempengaruhi
kerja enzim/hormon. Enzim dan hormon terdiri dari protein komplek yang dalam
kerjanya perlu adanya activator atau cofaktor yang biasanya berupa vitamin.
Bahan racun yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga
enzim atau hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida masuk
dan berinteraksi dengan sel sehingga akan menghambat atau mempengaruhi kerja
sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin dalam mengikat atau membawa
oksigen.
2. Merusak
jaringan sehingga timbul histamine dan serotine. Ini akan menimbulkan reaksi
alergi, juga kadang-kadang akan terjadi senyawa baru yang lebih beracun.
3. Fungsi
detoksikasi hati (hepar). Pestisida yang masuk ketubuh akan mengalami
proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi hati (hepar).
Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi
beracun terhadap tubuh
.
2.4 Keracunan Pestisida dan Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia
1.
Keracunan
Pestisida
Keracunan
pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui
kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak
negatif bagi tubuh. Penggunaan
pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan
keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu:
a. Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing,
sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.
b. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala
mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata
mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.
c. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi
karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa
gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida
diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta
gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Ada 4 macam pekerjaan yang dapat
menimbulkan kontaminasi dalam penggunaan pestisida yakni :
a.
Membawa, menyimpan dan memindahkan konsentrat
pestisida (Produk pestisida yang belum di encerkan).
b. Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan
atau disemprotkan.
c.
Mengaplikasikan atau menyemprotkan pestisida.
d. Mencuci alat-alat aplikasi sesudah
aplikasi selesai.
Diantara keempat pekerjaan tersebut di
atas yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah pekerjaan
mengaplikasikan, terutama menyemprotkan pestisida. Namun yang paling berbahaya
adalah pekerjaan mencampur pestisida. Saat mencampur, kita bekerja dengan
konsentrat (pestisida dengan kadar tinggi), sedang saat menyemprot kita bekerja
dengan pestisida yang sudah diencerkan.
2.
Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia
Pestisida
dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yakni: kontaminasi
memalui kulit (dermal Contamination), terhisap masuk kedalam saluran
pernafasan (inhalation) dan masuk melalui saluran pencernaan makanan
lewat mulut (oral).
a. Kontaminasi Melalui Kulit (dermal
contamination)
Pestisida yang
menempel di permukaan kulit bias meresap masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan
keracunan. Kejadian kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling
sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih
dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat
kulit. Risiko bahaya karena kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh faktor
sebagai berikut:
1. Toksitas
dermal (dermal LD 50) pestisida yang bersangkutan maka makin rendah angka LD 50
makin berbahaya.
2.
Konsentrasi
pestisida yang menempel pada kulit, yaitu semakin pekat pestisida maka semakin
besar bahayanya.
3.
Formulasi
pestisida misalnya formulasi EC dan ULV atau formulasi cair lebih mudah diserap
kulit dari pada formulasi butiran.
4.
Jenis
atau bagian kulit yang terpapar yaitu mata misalnya mudah sekali meresapkan
pestisida. Kulit punggung tangan lebih mudah meresapkan pestisida dari pada
kulit telapak tangan.
5. Luas
kulit yang terpapar pestisida yaitu makin luas kulit yang terpapar makin besar
risikonya.
6. Kondisi
fisik yang bersangkutan. Semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka semakin
tinggi risiko keracunannya.
Dalam penggunaanya atau aplikasi
pestisida, pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit
adalah:
a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya,
termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift pestisidanya dan menyeka
wajah dengan tangan, lengan baju atau sarung tangan yang terkontaminasi
pestisida.
b.
Pencampuran pestisida
c.
Mencuci alat-alat pestisida.
b. Terhisap masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation)
Keracunan pestisida karena partikel
pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit.
Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari
fogging) dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar
akan menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya penghirupan
pestisida lewat saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD 50 pestisida yang
terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.
Pestisida berbentuk gas yang masuk ke
dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran
kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran
lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan
gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Gas beracun yang
terhisap ditentukan oleh:
a. Konsentrasi
gas di dalam ruangan atau di udara
b. Lamanya
paparan
c. Kondisi
fisik seseorang (pengguna)
Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan terjadinya
kontaminasi lewat saluran pernafasan adalah:
a.
Bekerja
dengan pestisida (menimbang, mencampur dan sebagainya) di ruangan tertutup atau
yang ventilasinya buruk.
b. Aplikasi
pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas (misalnya fumigasi),
aerosol serta fogging, terutama aplikasi di dalam ruangan; aplikasi pestisida
berbentuk tepung (misalnya tepung hembus) mempunyai risiko tinggi.
c. Mencampur
pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernafasan)
c. Masuk kedalam saluran pencernaan makanan melalui mulut (oral)
Peristiwa
keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan
kontaminasi kulit. Karacunan lewat
mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Kasus
bunuh diri.
2.
Makan, minum, dan merokok ketika bekerja
dengan pestisida.
3.
Menyeka
keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang
terkontaminasi pestisida.
4.
Drift
(butiran halus) pestisida terbawa angin masuk ke mulut.
5.
Meniup
kepala penyembur (nozzle) yang tersumbat dengan mulut, pembersihan nozzle
dilakukan dengan bantuan pipa kecil.
6.
Makanan
dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya diangkut atau disimpan dekat
pestisida yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau kemasan pestisida.
7.
Kecelakaan
khusus, misalnya pestisida disimpan dalam bekas wadah makanan atau disimpan
tanpa label sehingga salah ambil.
2.5 Diagnosis
Keracunan Pestisida
Diagnosa
keracunan pestisida yang tepat harus dilakukan lewat proses medis baku,
kebanyakan harus dilakukan di laboratorium. Namun jika seseorang yang mula-mula
sehat kemudian selama atau setelah bekerja dengan pestisida merasakan salah
satu atau beberapa gejala keracunan pestisida diduga telah keracunan pestisida.
Untuk pestisida yang bekerja dengan menghambat enzim cholinesterase (misalnya
pestisida dari kelompok organofosfat dan carbamat), diagnosa gejala keracunan
biasa dilakukan dengan uji (test) cholinesterase. Umumnya gejala
keracunan organofosfat atau karbamat baru akan dilihat jika aktivitas kolinestrase
darah menurun sampai 30%. Namun penurunan sampai 50% pada pengguna pstisida
diambil sebagai batas, dan disarankan agar penderita menghentikan pekerjaan
yang berhubungan dengan pestisida.
2.6 Epidemiologi Keracunan Pestisida
Penelitian ini merupakan explanatory
research dan dilakukan dengan metode survey
cross sectional cross Sectional, dimana di jelaskan bahwa studi cross
sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi,
maupun hubungan penyakit dan paparan. Pengertian studi Cross sectional
adalah meneliti suatu populasi referen yang dilakukan sewaktu-waktu atau
periode waktu tertentu untuk mengetahui masalah kesehatan atau factor resiko
yang dapat menyebabkan terjadinya masalah kesehatan pada masyarakat.
Sampel
|
Eksposure
(+/-)
|
Disease
(+/-)
|
Kelebihan
dan kekurangan studi cross sectional :
- Kelebihan:
1)
Mudah dilakukan dan relatif lebih murah
dibandingkan studi kohort
2)
Dapat memberikan informasi mengenai
frekuensi dan distribusi penyakit yang menimpa masyarakat, serta informasi
mengenai faktor resiko atau karakteristik lain yang dapat menyebabkan kesakitan
pada masyarakat.
3)
Dapat dipakai untuk mengetahui stadium
dini atau kasus subklinis suatu penyakit, seperti pemeriksaan pap-smear pada
kanker leher rahim.
2. Kekurangan:
1. Tidak dapat dipakai untuk meneliti penyakit yang terjadi
secara akut dan cepat sembuh (durasi penyakit pendek)
2. Tidak dapat menjelaskan apakah penyakit atau faktor resiko
(pajanan) yang terjadi lebih dulu.
3. Sering terjadi penyimpangan berupa bias observasi dan bias
respon.
2.7 Distribusi dan Frekuensi Keracunan
Pestisida
Epidemiologi
keracunan Pestisida yaitu mempelajari frekuensi, distribusi keracunan Pestisida
dan determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi
keracunan Pestisida dapat dilihat berdasarkan 3 variabel yaitu variabel orang (Person),
variabel Tempat (Place), dan variabel waktu (Time).
a.
Menurut Orang (Person)
Keracunan
akibat pestisida sudah menjadi masalah seluruh dunia, dengan estimasi jumlah
kasus per tahun sebesar 1-3 juta. Angka kematian beragam mulai dari 1% sampai
9% kasus yang datang berobat, dan bergantung pada ketersediaan antidot serta
mutu layanan medis yang diberikan. Keracunan yang disengaja (terutama untuk
upaya percobaan bunuh diri atau berhasil bunuh diri), proporsinya dalam kasus
keracunan pestisida cukup besar di Negara tertentu. Pestisida mudah didapat di
rumah tangga sehingga menjadikannya sebagai “metode kesukaan/pilihan” mereka
yang berniat bunuh diri.
Mayoritas kasus keracunan pestisida yang
tidak disengaja terjadi di kalangan petani dan keluarga mereka. Paparan terjadi
terutama selama pencampuran atau penyemprotan pestisida, penyemprotan dengan
pesawat atau memasuki wilayah yang disemprot. Paparan okupasional akut juga
dapat terjadi selama pembuatan, formulasi, pengemasan, dan pendistribusian
pestisida. efek akutnya yang berkaitan dengan paparan okupasional terhadap
pestisida antara sensasi terbakar di mata yang terkena semprotan zat kimia,
kerusakan kulit, efek neurologis, dan efek pada hati. Paparan kronis diduga
menyebabkan masalah reproduksi dan memperbesar risiko terkena kanker, mengalami
efek neurologis dan psikologis serta efek pada fungsi imun.
Banyak kasus keracunan pestisida yang
terjadi pada anak-anak karena mereka berhasil menjangkau pestisida yang
kemasannya terbuka yang disimpan di rumah. Kejadian keracunan massal akibat
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi pestisida juga pernah terjadi dan
menyebabkan banyak kematian. Berdasarkan hasil monitoring Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, proporsi keracunan pestisida berdasarkan kholinestrase
darah tahun 1990 dengan tingkat keracunan berat 0,16%, sedang 3,32%, ringan
38,35% dan normal 58,17%. Tingkat keracunan pestisida pada petani berdasarkan
hasil pemeriksaan kolinestrase darah pada tahun 1991 dengan proporsi keracunan
berat 0,39%, sedang 10,64%, ringan 38,32%, dan keracunan normal 50,65%.
b.
Menurut Tempat (Place)
Keracunan adalah salah satu masalah
kesehatan yang semakin meningkat baik di negara maju maupun Negara berkembang.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Lingkungan Persatuan
Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan ada 1,5 juta kasus keracunan pestisida terjadi
pada sektor pertanian. Sebagian besar kasus terjadi di Negara
berkembang, yang 20.000 kasus diantaranya berakibat fatal.
c.
Menurut Waktu (Time)
Untuk mendapatkan gambaran jumlah korban
keracunan pestisida di Indonesia secara akurat, sangat sulit. Karena belum
adanya sistem pelaporan dan monitoring secara sistematik dan periodik. Apalagi
dengan penerapan desentralisasi pembangunan kesehatan, sistem pelaporan sama
sekali tidak berjalan, sehingga sulit mengetahui kondisi kesehatan nasional
termasuk gambaran keracunan pestisida. Namun demikian, dengan menggunakan
gambaran piramida dapat diketahui gambaran dampak (actual hazards)
penggunaan pestisid sebagai berikut: pada tahun 1976 diperoleh 105 CFR 7,6%,
tahun 1983 CFR 20-50%.
d. Determinan
Keracunan Pestisida
Menurut
Achmadi (1983) ada beberapa Faktor yang mempengaruhi Keracunan pestisida antara
lain:
·
Faktor Agent (Penyebab)
Proses
terjadinya keracunan pestisida disebabkan adanya interaksi antara agent kimia
atau Chemical Agent, manusia sebagai host dan faktor lingkungan
yang mendukung (environment). Agent kimia (Chemical Agent)
dihasilkan oleh aktifitas manusia dan mempunyai berbagai efek pada kesehatan.
Paparan oleh factor lingkungan akan mengenai manusia (Host) yang peka atau
kebal terhadap paparan dan akan memberikan suatu perubahan fungsi atau
menyebabkan perubahan prepatologik.
·
Faktor Intrinsik (Penderita)
1.
Umur
Aktivitas
kolinestrase berbeda antara anak-anak dan orang dewasa di atas 20 tahun, baik
dalam keadaan terpapar pestisida organoposphat maupun selama bekerja dengan
organofosfat. Usia di bawah 20 tahun dapat merupakan kontra indikasi bagi
pekerja dengan organofosfat karena menurunkan aktivitas kolinestrase sehingga
memperberat keracunan yang terjadi.
2.
Jenis Kelamin
Menurut
Gallo dan Lawryk (1999) dari beberapa penelitian yang telah dilakukan aktivitas
kolinestrase secara signifikan lebih tinggi pada pria di bandingkan dengan
wanita. Aktivitas kolinestrase pada pria dan wanita dalam butir darah merah
bervariasi (13,50%-15,60%) dan plasma darah (14,7%-26,80%) dengan menggunakan
metode manometri. Pekerja wanita yang berhubungan dengan organofhosfat terutama
dalam keadaan hamil akan mempunyai aktivitas kolinestrase yang lebih rendah. Beberapa penelitian
menemukan hubungan pestisida sebagai pencetus timbulnya kanker, tingkat
kesuburan menurun dan gangguan dari terhadap sistem kekebalan tubuh.
3.
Pendidikan
Permasalahan
penggunaan pestisida menurut Achmadi (1983) bertumpu pada dua hal yaitu
kuantitas jumlah petani yang sangat besar dan secara kualitas kurang memadai
karena faktor pendidikan yang umumnya rendah sehingga tidak jarang petani tidak
membaca petunjuk pengunaan pestisida. Selain itu kurang disosialisasikan penggunaan pestisida yang benar,
sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap dampak pestisida masih sangat
rendah.
·
Faktor Ekstrinsik
1. Jangka waktu atau lamanya terpapar
pestisida
Paparan
yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang
terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi resiko
pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan
berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa
penggunaan pestisida secara berlama-lama untuk pertanian dapat menyebabkan
kanker seperti non Hodgkin's lymphoma.
2.
Dosis Pestisida
Dosis
pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu
dalam melakukan pencampuran pestisida umtuk menyemprot petani hendaknya
memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan
membahayakan penyemprot itu sendiri. Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter
atau kilogram yang digunakan untuk menegendalikan hama tiap satuan luas
tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan satu kali aplikasi atau lebih.
Dosis pestisida ditentukan oleh produsen
atau lembaga penelitian yang berwenang setelah melalui penelitian yang mendalam
dan harus ditaati oleh pengguna pestisida. namun kenyataanya di lapangan, dosis
biasa disesuaikan menurut keadaan. Dosis aplikasi umumnya diberi dalam satu kisaran
(range) yaitu 1-1,5 liter/ha dan konsentrasinya 1,5-2 ml/liter air.
Berdasarkan hasil penelitian Silaban (2005) Ada hubungan dosis teradap kejadian
keracuanan pestisida. Hal ini dapat dijelaskan karena petani ingin mendapatkan
hasil yang cepat dalam memberantas dan pertumbuhan tanaman, sehingga melakukan
peracikan dengan menambahkan dosis yang telah ditetapkan. Penambahan dosis
menjadi lebih pekat jika terhirup melalui inhalasi dapat beresiko terhadap
kesehatan dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan seperti tanah dan air.
3.
Kebersihan Perorangan (Personal Higiene)
Kebersihan
perorangan (Personal higiene) ditujukan untuk menjaga kebersihan badan dan
mencegah material berbahaya menempel untuk waktu yang lama dan diserap oleh
kulit. Sama bahayanya dengan menghisap atau memakan bahan kimia dalam jumlah
kecil yang dapat menggangu kesehatan.
4.
Alat Pelindung Diri (APD)
Pada
petani membasmi hama melalui penyemprotan dengan pestisida, tetapi pelaksanaan
penyemprotan tidak dilaksanakan menurut ketentuan atau petunjuk, artinya
sewaktu menyemprot tidak memakai pengaman secara sempurna seperti masker, topi,
sepatu khusus, mantel, sarung tangan, sehingga dapat menyebabkan keracunan
pestisida dalam halnya petani.
Berdasarkan
hasil penelitian Silaban di Kabupaten Simalungun (2005) dengan desain kasus
control, berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukkan ada hubungan antara
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) terhadap keracunan pestisida (p=0,000,
OR=5,3) artinya bahwa petani yang mengalami keracunan pestisida kemungkinan
5,3 kali tidak memakai APD dibandingkan dengan petani yang tidak mengalami
keracunan.
2.8 Pencegahan
Keracunan Pestisida
1.
Pencegahan Tingkat Pertama (Primary
prevention)
Setiap
orang yang dalam pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida seperti
petani penyemprot, harus mengenali dengan baik gejala dan tanda keracunan
pestisida. Tindakan pencegahan lebih penting daripada pengobatan. Sebagai upaya
pencegahan terjadinya keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan
kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus dapat memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Memilih Pestisida
Memilih bentuk atau formulasi pestisida
juga sangat penting dalam penggunaan pestisida. Formulasi pestisida yang
bagainana yang harus kita pilih, apakah cairan, butiran, atau bentuk lainnya.
Kalau dilihat dari bahaya pelayangan di udara, pestisida berbentuk butiran
paling sedikit kemungkinannya untuk melayang. Pestisida yang berbentuk cairan,
bahaya pelayangannya lebih kecil jika dibandingkan dengan pestisida berbentuk
tepung. Disamping itu pertimbangan lain
dalam memilih formulasi pestisida adalah alat yang akan digunakan untuk
menyebarkan pestisida tersebut. Bila kita memiliki alat penyemprot tentunya
kita lebih tepat menggunakan pestisida berbentuk cairan Emulsible
Concentrate (EC), Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP).
Apabila tidak ada alat sama sekali, kita pilih pestisida yang berbentuk
butiran.
b.
Alat Yang Digunakan dalam Aplikasi Pestisida
Menurut Wudianto (2007) alat yang
digunakan dalam aplikasi pestisida tergantung formulasi yang digunakan.
Pestisida yang berbentuk butiran (granula) untuk menyebarkan tidak membutuhkan
alat khusus, cukup dengan ember atau alat lainnya yang bisa digunakan untuk
menampung pestisida tersebut dan sarung tangan agar tangan tidak berhubungan
langsung dengan pestisida. Pestisida berwujud cairan Emulsible Concentrate (EC)
atau bentuk tepung yang dilarutkan Wettable Powder (WP) atau Soluble
Powder (SP) memerlukan alat penyemprot untuk menyebarkan. Sedangkan
pestisida yang berbentuk tepung hembus bisa digunakan alat penghembus.
Pestisida berbentuk fumigant dapat diaplikasikan dengan alat penyuntik pohon
kelapa untuk jenis insektisida yang digunakan memberantas penggerek
batang. Alat penyemprot yang biasa
digunakan yaitu penyemprot gendong, pengabut bermotor tipe gendong (Power
Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure
Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya. Penggunaan alat penyemprot
ini disesuaikan dengan kebutuhan terutama yang berkaitan dengan luas areal
pertanian sehingga pemakaian pestisida menjadi efektif.
c. Teknik
dan Cara Aplikasi
Teknik
dan cara aplikasi ini sangat penting diketahui oleh pengguna pestisida,
terutama untuk menghindarkan bahaya pemaparan pestisida terhadap tubunya, orang
lain dan lingkungannya. Ada beberapa
petunjuk dan teknik serta cara aplikasi pestisida yang diberikan oleh
pemerintah yaitu:
1.
Gunakanlah
pestisida yang telah terdaftar dan memperoleh izin dari menteri Pertanian R.I
Jangan sekali-sekali menggunakan pestisida yang belum terdaftar dan memperoleh
izin.
2. Pilihlah
pestisida yang sesuai dengan hama atau penyakit tanaman serta jasad sasaran
lainnya yang akan dikendalikan, dengan cara lebih dahulu membaca keterangan
kegunaan pestisida dalam label pada wadah pestisida.
3. Belilah
pestisida dalam wadah asli yang tertutup rapat dan tidak bocor juga tidak
rusak, dengan label asli yang berisi keterangan lengkap dan jelas, jangan
membeli dan menggunakan pestisida dengan label dalam bahasa asing.
4. Bacalah
semua petunjuk yang tercantum pada label pestisida sebelum bekerja dengan
pestisida itu.
5.
Lakukanlah
penakaran, pengenceran atau pencampuran pestisida di tempat terbuka atau dalam
ruangan dalam ventilasi baik.
6.
Pakailah
sarung tangan dan gunakanlah wadah, alat pengaduk dan alat penakar khusus untuk
pestisida.
7.
Gunakanlah
pestisida sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida
dengan takaran yang berlebihan atau kurang karena dapat mengurangi
keefektifannya.
8.
Periksalah
alat penyemprot dan usahakanlah supaya dalam keadaan baik, bersih dan tidak
bocor.
9.
Hindarkanlah
pestisida terhirup melalui pernafasan atau terkena kulit, mata, mulut dan
pakaian.
10. Apabila ada luka pada kulit, tutuplah luka
tersebut dengan baik sebelum bekerja dengan perban. Pestisida lebih
mudah terserap melalui kulit yang terluka.
11. Selama
menyemprot pakailah alat pengaman, berupa masker penutup hidung dan mulut,
sarung tangan, sepatu boot, dan jaket atau baju berlengan panjang.
12. Jangan
menyemprot melawanan dengan arah angin.
13. Waktu
yang baik untuk penyemprotan adalah pada waktu terjadi aliran udara naik
(thermik) yaitu antara pukul 08.00-11 WIB atau sore hari pukul 15-18.00 WIB.
Penyemprotan terlalu pagi atau terlalu sore mengakibatkan pestisida yang
menempel pada bagian tanaman akan terlalu lama mengering mengakibatkan tanaman
yang disemprot keracunan.
14. Peyemprot
segera mandi dengan bersih menggunakan sabun dan pakaian yang digunakan segera
dicuci.
15. Jangan makan dan minum atau merokok pada
saat melakukan penyemprotan.
16. Alat penyemprot segera dibersihkan setelah
selesai digunakan. Air bekas cucian sebaiknya dibuang ke lokasi yang
jauh dari sumber air dan sungai.
d. Tempat
menyimpan Pestisida
Tempat
menyimpan pestisida biasa berupa almari atau peti khusus atau biasa juga
ruangan khusus yang tidak mudah dijangkau anak-anak atau hewan piaraan. Bila perlu tempat penyimpanan ini dikunci
kemudian letakkan tempat penyimpanan ini jauh dari tempat bahan makanan,
minuman, dan sumber api. Peletakan pestisida tidak dianjurkan di gudang bahan
makanan. Usahakan tempat pestisida
mempunyai ventilasi yang cukup, tidak terkena matahari langsung, dan tidak
terkena air hujan agar pestisida tidak rusak.
e. Mengelola
wadah Pestisida
Pestisida
harus tetap tersimpan dalam wadah atau bungkus aslinya yang memuat label atau
keterangan mengenai penggunaannya. Dengan
demikian bila ata keracunan akan digunakan lagi petujukya masih jelas. Wadah
tidak bocor dan tertutup rapat. Bila terkena uap air atau zat asam, pestisida
bias rusak dan tidak efektif lagi. Pindahkan isi bila wadah bocor ke tempat
yang merek dagangnya sama dengan petunjuk yang masih jelas. Bila tidak ada,
pindahkan ke tempat lain yang tertutup rapat dengan menuliskan keterangan
mengenai merek dagangnya, bahan aktifnya, kegunaannya, dan cara penggunaanya.
Wadah pestisida yang sudah tidak berguna dirusak agar tidak dimanfaatkan untuk
keperluan lain atau dengan cara mengubur wadah tersebut jauh dari sumber air. \
2.
Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary
Prevention)
Dalam penanggulangan keracunan pestisida
penting dilakukan untuk kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan
penderita dari kematian yang disebabkan oleh keracunan akut. Adapun
penanggulangan keracunan pestisida adalah sebagai berikut:
a. Organofosfat,
bila penderita tak bernafas segara beri nafas buatan , bila racun terlelan
lakukan pencucian lambung dengan air, bila kontaminasi dari kulit, cuci dengan
sabun dan air selama 15 menit. Bila ada berikan antidot: pralidoxime(Contrathion).
Pengobatan keracunan organofosfat harus cepat dilakukan. Bila dilakukan
terlambat dalam beberapa menit akan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis
keracunan dilakukan berdasarkan terjadinya gejala penyakit dan sejarah
kejadiannya yang saling berhubungan. Pada keracunan yang berat,
pseudokholinesterase dan aktifits erytrocyt kholinesterase harus diukur dan bila kandungannya jauh dibawah normal,
keracunan mesti terjadi dan gejala segera timbul. Beri atropine 2mg iv/sc tiap sepuluh menit sampai
terlihat atropinisasi yaitu: muka kemerahan, pupil dilatasi, denyut nadi
meningkat sampai 140 x/menit. Ulangi pemberian atropin bila gejala-gejala
keracunan timbul kembali. Awasi penderita selama 48 jam dimana diharapkan sudah
ada recovery yang komplit dan gejala tidak timbul kembali. Kejang dapat
diatasi dengan pemberian diazepam 5 mg iv, jangan diberikan barbiturat atau
sedativ yang lain.
b. Carbamat,
penderita yang gelisah harus ditenangkan, recoverery akan terjadi dengan cepat.
Bila keracunan hebat, beri atropin 2 mg oral/sc dosis tunggal dan tak perlu
diberikan obat-obat lain.
3.
Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary
Prevention)
Upaya yang dilakukan pada pencegahan
keracunan pestisida adalah:
1.
Hentikan
paparan dengan memindahkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian korban
dan cuci/mandikan korban.
2.
Jika terjadi kesulitan pernafasan maka korban
diberi pernafasan buatan. Korban diinstruksikan agar tetap tenang. Dampak
serius tidak terjadi segera, ada waktu untuk menolong korban.
3. Korban
segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat. Berikan informasi tentang
pestisida yang memepari korban dengan membawa label kemasan pestisida.
4. Keluarga
seharusnya diberi pengetahuan/penyuluhan tentang tentang pestisida sehingga
jika terjadi keracunan maka keluarga dapat memberikan pertolongan pertama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kejadian paparan pestisida pada petani
penyemprot disebabkan oleh beberapa factor determinan, yaitu perilaku
(pengetahuan, sikap dan praktek) petani penyemprot, frekuensi penyemprotan,
selang waktu kontak penyemprotan, pemakaian alat pelindung diri, dosis
pestisida dan lama penyemprotan. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprotan dapat
diketahui melalui pengukuran kadar kolinesterase darah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh faktor-faktor determinan di atas terhadap kejadian paparan pestisida
pada petani penyemprot. Penelitian
ini merupakan explanatory research dan
dilakukan dengan metode survey cross
sectional.
Menurut Depkes RI (1990) Kata Pestisida
berasal dari rangkaian kata pest yang berarti hama dan cida atau sida
yang berarti membunuh. Dalam PP No 7 tahun 1973 yang dimaksud dengan pestisida
adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang
digunakan.
Pestisida
masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara kulit, Pertama absorpsi melalui kulit
berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui
mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan
mengakibatkan keracunan berat hingga mengakibatkan kematian. Ketiga melalui
pernafasan dapat berupa bubuk, droplet atau uap dapat meyebabkan kerusakan
serius pada hidung, tenggorokan jika terhisap cukup banyak.
Keracunan pestisida adalah masuknya
bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi,
ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Penggunaan
pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan
keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu:
a. Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing,
sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.
b. Keracunan akut berat, menimbulkan gejala
mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata
mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.
c. Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi
karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa
gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida
diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta
gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Epidemiologi
keracunan Pestisida yaitu mempelajari frekuensi, distribusi keracunan Pestisida
dan determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi
keracunan Pestisida dapat dilihat berdasarkan 3 variabel yaitu variabel orang (Person),
variabel Tempat (Place), dan variabel waktu (Time).
3.2 Saran
Melalui
makalah ini kami berharap agar pembaca senantisa memperhatikan bahaya-bahaya
yang ada di sekeliling lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan tempat
kerja. Contohnya saja mengetahui penyebab dari factor resiko yang disebabkan
oleh paparan pestisida yang dapat mempengaruhi kesehatan kita. Serta mengetahui
penyakit yang bisa ditimbul karena terpapar pestisida yang berlebihan.
DAFTAR
PÚTAKA
1.
Djojosumarto P. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian.
Kanisius.Yoagyakarta.2008.
2.
Leeuwen CJ and Hermens JLM. Risk Assessment
Of Chemicals. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. 1995.
3.
Achmadi, Umar Fahmi, 1985. Aspek
Kesehatan Kerja Pengguna Pestisida pada Sektor Informal, Depkes RI, Jakarta
4.
Afriyanto, Nurjazuli, Budiyono, 2009 Keracunan
Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan
Kabupaten Semarang, Fakultas Pertanian Universitas Diponegoro. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia Keracunan Pestisida pada Petani Vol.8 No.1
5. Darmono 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran.
UI-Press, Jakarta.
6.
Depkes
RI, 1989. Pemeriksaan Cholinesterase Darah dengan Tintometer, Ditjen PPM
& PLP, Jakarta
7. Notoadmodjo, Soekidjo,
2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
8. PanAP, 2001. “Awas Pestisida Berbahaya Bagi
Kesehatan.” Ronald Macfarlane (Editor). Pesticide Action Network Asia and
Pasifik.
9. Pandit, Gde Suranaya.
2006, Resiko Pemakaian Pestisida Pada Pertanian Terhadap Kesehatan Manusia
dan Lingkungan. Jurnal Lingkungan
& Pembangunan Wicaksana No.15.
10. PAN- Indonesia, 2001: Teropong
Masalah Pestisida, Edisi IV Jakarta : Pesticide Action Network.
Majalah Terompet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar