BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sanitasi
lingkungan adalah status
kesehatan lingkungan yang
mencakup perumahan,
pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih dan sebagainya (Notoadmojo dalam Mbeu, 2011).
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari
4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer,
dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lender dan darh atau lender saja
(Ngastiyah dalam Putri, 2010).
Sanitasi merupakan salah satu tantangan yang paling utama
bagi negara-negara
berkembang karena menurut World Health
Organisation (WHO), penyakit diare
membunuh satu anak di dunia ini setiap detik, karena access pada sanitasi masih
terlalu rendah. Hal ini menimbulkan masalah kesehatan lingkungan yang besar,
serta merugikan pertumbuhan ekonomi dan potensi sumber daya manusia pada skala
nasional (Azwar dalam Mbeu, 2011).
Diare merupakan keluhan yang
paling sering ditemukan pada anak-anak. Diperkirakan pada anak setiap tahunnya
mengalami Diare akut atau gasrtroenteritis
akut sebanyak 99.000.000 kasus. Di Amerika Serikat, diperkirakan 8.000.000
pasien berobat kedokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun (1,5% merupakan pasien
dewasa) yang disebabkan karena Diare (Restu dalam Andi, 2007).
Messwati (2008) dalam
Mbeu (2011), di Indonesia terdapat empat dampak kesehatan oleh pengolahan air
dan sanitas yang buruk, yakni Diare, Tifus, Polio dan Cacingan, Hal survei pada
tahun 2006 menunjukan bahwa kejadian diare pada semua usia di Indonesia adalah
423 per 1000 penduduk dan terjadi 1–2 kali per tahun pada anak–anak berusia
dibawah 5 tahun.
Profil Kesehatan Indonesia (2008) dalam Mbeu (2011), pada tahun 2008 dilaporkan terjadinya
kejadian luar biasa (KLB) Diare di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak
8,443 orang, jumlah kematian sebanyak 209 orang atau Case Fatali Rate (CFR) sebanyak 2,48%. Hal tersebut utamanya
disebabkan oleh rendahya ketersediaan air bersih, sanitasi yang buruk dan
perilaku hidup tidak bersih.
Dinkes Sultra (2008) dalam Mbeu (2011), berdasarkan data yang di peroleh
dari Dinas Kesehatan Kota Baubau
tahun 2012, jumlah penderita Diare sebanyak 52.278 orang dan 14.493 atau
sebesar 28% diantaranya adalah balita. Secara keseluruhan dilaporkan 10
penderita diare
meninggal dunia. Untuk penderita diare,
masih menurut data hasil survailens,
paling banyak diderita oleh warga berusia antara 1–4 tahun atau yang masih
tergolong balita. Pada usia ini, jumlah penderita adalah sebanyak 7,379 orang.
Data surveilens juga menyebutkan penderita diare dari warga Kota Baubau yang berusia 5–9 tahun mencapai 2,955 usia 10–14 tahun sebanyak 1,746 orang, usia
15–19 tahun sebanyak 1,467 orang, usia 55–59 tahun sebanyak 856 orang, usia 60–69
tahun sebanyak 1,125 orang dan di atas usia 70 tahun sebanyak 554 orang.
Kejadian diare
di Puskesmas Wajo Kota Baubau
memberikan gambaran bahwa dari 10 penyakit yang menonjol, salah satu adalah diare menempati urutan ke-2 yaitu pada tahun
2011 kejadian diare sebanyak 1239 orang, tahun 2012 sebanyak 1103 orang dan pada tahun 2013 dari bulan
Januari sampai dengan Mei sebanyak 363 orang yang terkena diare (Puskesmas Wajo, 2012).
Penyakit diare merupakan
penyakit yang berbasis lingkungan, beberapa faktor yang berkaitan dengan
kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh
tinja, kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis),
kebersihan perorangan, dan lingkungan yang jelek, penyediaan makanan kurang
matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya
(Sander dalam Mbeu, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian
(Wibowo, 2004) kelompok kasus sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air
minum yang memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan
sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,5 kali
lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan sumber air minum yang memenuhi
syarat sanitasi.
Sanropie
dalam Zubir (2006), jenis lantai rumah tinggal mempunyai
hubungan yang bermakna pula dengan kejadian diare pada anak balita. Hal ini
ditinjau dari jenis alas atau bahan dasar penutup bagian bawah, dinilai dari
segi bahan dan kedap air. Lantai dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi,
sebab bila musim hujan akan lembab hingga dapat menimbulkan gangguan atau
penyakit pada penghuninya (disemen, dipasang keramik, dan teraso). Lantai
dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah masuknya air ke
dalam rumah.
Berdasarkan hasil penelitian
Wibowo (2004), jenis tempat pembuangan
tinja yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa
(68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak memiliki
jamban.
Data dari Puskesmas Wajo didapatkan 13.066 orang yang
bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas yang terdiri dari 4.981 orang di
Kelurahan Lamangga, 4.075 orang di Kelurahan Wajo dan 4.010 orang di Kelurahan
Tangana Pada. Jumlah
KK yang diperiksa berdasarkan sumber air minum sebanyak 2.202 KK dengan rincian
620 KK memiliki sarana air bersih bersumber dari ledeng/PDAM, 812 KK memiliki
sarana air bersih bersumber dari sumur gali dan 770 KK memiliki sarana air bersih
bersumber dari kemasan/galon (Puskesmas Wajo, 2012).
Jumlah KK yang diperiksa berdasarkan jenis lantai rumah
sebanyak 2.202 KK dengan rincian 248 KK memiliki lantai terbuat dari kayu/bambu,
987 KK memiliki lantai terbuat dari semen, 921 KK memiliki lantai yang terbuat
dari tehel/keramik dan 46 KK memiliki lantai tanah (Puskesmas Wajo, 2012).
Jumlah KK yang diperiksa berdasarkan kepemilikan jamban
sebanyak 2.202 KK dan yang memiliki jamban hanya sebanyak 1.932 KK saja
(Puskesmas Wajo, 2012).
Berdasarkan uraian di
atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan sanitasi lingkungan rumah tangga dengan kejadian
diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
mengenai “Apakah Ada Hubungan
Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kecamatan
Murhum Kota Baubau ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan
Umum
Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan rumah
tangga dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum
Kota Baubau.
1.3.2 Tujuan
Khusus
1.
Untuk
mengetahui hubungan sumber air minum dengan kejadian diare di wilayah kerja
Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
2. Untuk mengetahui hubungan jenis lantai dengan kejadian
diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
3. Untuk mengetahui hubungan pemanfaatan jamban dengan kejadian
diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Institusi
Dapat menambah bahan kepustakaan di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
1.4.2 Manfaat Ilmiah
Hasil
penelitian ini dapat memberi informasi atau gambaran untuk mengembangkan
penelitian selanjutnya.
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai
sarana untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu yang telah diberikan dan
diterima dalam rangka pengembangan kemampuan diri dan sebagai syarat dalam
menyelesaikan studi di Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit Diare
Depkes
RI (2000), diare adalah buang air besar
lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinyaa lebih sering dan biasanya
(bisanya tiga kali atau lebih dalam sehari).
Widjaja
(2002), diare diartikan sebgai buang
(air encer lebih dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah
maupun tidak. Hingga kini diare masih menjadi child killer indonesller
(pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia
diserang oleh diare, baik balita,
anak-anak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare barat dengan kematian yang
tinggi terutama terjadi pada bayi dan
anak balita.
2.1.2 Etiologi
Widjaja
dalam Mbeu (2011), diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan
penyerapan zat gizi), makanan dan faktor psikologis.
a. Faktor Infeksi
Infeksi pada saluran
pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-jenis infeksi yang
umumnya menyerang antara lain.
1. Infeksi
oleh : Escherichia Coli, Salmonella thyposa, vibrio cholerae (Kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya
berlebihan dan patogenik seperti pseudomonas.
2. Infeksi basil (disentri)
3. Infeksi
virus rotavirus
4. Infeksi
parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides)
5. Infeksi jamur (Candida
albicans)
6. Infeksi
akibat orang lain, seperti radang tonsil, bronchitis,
dan radang tenggorokan
7. Keracunan
makanan
b. Faktor Malabsorpsi
Faktor
malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Karbohidrat,
pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis
dalam susu formula dapat penyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja
berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak,
terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida.
Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika
tidak lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak
tidak terserap dengan baik.
c. Faktor Makanan
Makanan
yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu
banyak lemak, mentah (sayur) dan kurang matang.
Makanan yang berkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada
anak-anak balita.
d. Faktor
Psikologis
Rasa takut, cemas dan
tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis, tetapi jarang
terjadi pada anak balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
2.1.3 Jenis
Diare
Depkes
RI (2000), berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu:
a. Diare
Akut
Diare
akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7
hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi
penderita diare.
b. Disentri
Disentri
yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan
cepat, dan kemungkinan tarjadinya komplikasi pada mukosa.
c. Diare
Persisten
Diare
persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus. Akibat diare adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
d. Diare
dengan Masalah Lain
Anak
yang menderita diare (diare akut dan diare oersisten) mungkin juga disertai
dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainya.
2.1.4 Gejala Diare
Widjaja
(2002), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut:
a. Bayi
atau anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badanya pun meninggi
b. Tinja
bayi encer, berlebihan atau berdarah
c. Warna
tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
d. Lecet
pada anus
e. Gangguan
gizi akibat intake (asupan) makanan
yang kurang
f. Muntah sebelum daan sesudah diare
g. Hipoglikemia
(penurunan kadar gula darah)
h. Dehidrasi
(kekurangan cairan)
Dehidrasi
dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang dan
dehidrasi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%.
Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi
berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah, tekanan darah merendah,
penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat.
2.1.5 Epidemiologi Penyakit Diare
Depkes
RI (2005), Epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut:
a. Penyebabaran
Kuman yang Menyebabkan Diare
Kuman
penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan
atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik
dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan
ASI secara penuh 4–6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air
besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang
tinja dengan benar.
b. Faktor Pejamu yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap
Diare
Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit
dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai
umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi
atau imunosupresi dan secara
proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.
c. Faktor Lingkungan dan Perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan.
Dua faktor yang dominan,
yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan prilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare
serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan
dan minuman,
maka dapat menimbulkan kejadian diare.
2.1.6 Pencegahan
dan Pemberantasan
Diare
Andrianto dalam Hiswani (2003), tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan
perbaikan keadaan lingkungan, seperti penyediaan sumber air minum yang bersih,
penggunaan jamban, pembuangan sampah
pada tempatnya, sanitasi perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah
yang layak. Perbaikan prilaku ibu terhadap balita seperti pemberian ASI sampai
anak berumur 2 tahun, perbaikan cara menyapih, kebiasaan mencuci tangan sebelum
dan sesudah beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang tepat,
memberikan imunisasi morbili.
Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan
pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan
lingkungan sosialnya menjadi sehat (Notoadmodjo, 2003).
Hasil penelitian terakhir menunjukan, bahwa cara
pencegahan yang benar dan efektif yang dapat dilakukan adalah: memberikan ASI, memperbaiki makanan
pendamping ASI, menggunakan air bersih yang cukup, mencuci tangan, menggunakan
jamban, membuang tinja bayi yang benar dan memberikan imunisasi campak (Depkes
RI, 2002).
Usaha kesehatan dapat digolongkan menjadi 4 macam,
yaitu usaha peningkatan (promotif),
usaha pencegahan (preventif), usaha
pengobatan (curative) dan usaha
pemulihan (rehabilitasi). Usaha ini pada dasarnya ditunjukan terhadap tiga
faktor, yang mempengaruhi timbulnya penyakit, sesuai dengan pendapat John
Gordon yaitu faktor penjamu (host),
bibit penyakit (agent) dan faktor
lingkungan (environment). Jika
keempat usaha di atas dikaitkan dengan tiga faktor tersebut maka usaha yang
dapat dilakukan dalam pencegahan diare adalah sebagai berikut
(Zubir dkk, 2006) :
1. Terhadap Faktor Penjamu
Mempertinggi daya tahan tubuh manusia dan meningkatkan pengetahuan
masyarakat dalam prinsip-prinsip hygiene
perorangan.
2. Terhadap Faktor Bibit Penyakit
a. Memberikan sumber penularan penyakit, baik dengan
mengobati penderita maupun carrier
atau dengan meniadakan reservoir
penyakit
b. Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik di tempat
umum maupun lingkungan rumah
c. Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat memperbaiki dan
memelihara kesehatan
3. Terhadap Faktor Lingkungan
Mengubah atau mempengaruhi faktor lingkungan hidup, sehingga faktor-faktor yang tidak baik dapat diawasi
sedemikian rupa agar
tidak membahayakan
kesehatan manusia.
2.1.7
Penularan Diare
Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui jalur
fekal oral yang terjadi
karena (Zubir dkk, 2006) :
a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari
sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada
saat disimpan di rumah. Pencemaran ini terjadi bila tempat penyimpanan tidak
tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil
air dari tempat penyimpanan.
b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah
terinfeksi, mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja
tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap
dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang memakannya (Widoyono,
2008). Sedangkan menurut (Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya
menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan
risiko terjadinya diare, yaitu: tidak memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara
penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan
makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar, tidak mencuci tangan
sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci tangan sebelum atau sesudah menyuapi
anak dan tidak membuang tinja termasuk tinja bayi dengan benar.
2.1.8
Penanggulangan Diare
Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain
sebagai berikut :
a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem
Kewaspadaan Dini) Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang
jumlah penderita dan kematian serta penderita baru yang belum dilaporkan dengan
melakukan pengumpulan data secara harian pada daerah fokus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai
risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangkan pelaksanaan SKD merupakan
salah satu kegiatan dari surveilance epidemiologi yang kegunaanya untuk
mewaspadai gejala akan timbulnya KLB (Kejadian Luar Biasa) diare.
b. Penemuan kasus secara aktif Tindakan untuk menghindari
terjadinya kematian di lapangan karena diare pada saat KLB dimana sebagian
besar penderita berada di masyarakat.
c. Pembentukan pusat rehidrasi Tempat untuk menampung
penderita diare yang memerlukan perawatan dan pengobatan pada keadaan tertentu
misalnya lokasi KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.
d. Penyediaan logistik saat KLB Tersedianya segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat terjadinya KLB diare.
e. Penyelidikan terjadinya KLB Kegiatan yang bertujuan
untuk pemutusan mata rantai penularan dan pengamatan intensif baik terhadap
penderita maupun terhadap faktor risiko.
f. Pemutusan
rantai penularan penyebab KLB Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare
pada saat KLB diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan
penyuluhan kesehatan.
2.1.9 Pencegahan Diare
Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan
antara lain :
a. Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu)
b. Memperbaiki
praktek pemberian makanan pendamping ASI
c. Penggunaan air
bersih yang cukup
d. Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan
e. Penggunaan jamban yang benar
f. Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak
dan bayi yang benar
g. Memberikan imunisasi campak
2.2 Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Diare
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat
komplek yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu
sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik
kesehatan individu maupun kesehatan
masyarakat. Masalah-masalah
kesehatan lingkungan antara lain pada sanitasi (jamban), penyediaan air minum, perumahan, pembuangan
sampah dan pembuangan air limbah
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain yaitu antara faktor lingkungan, agent dan host (Timmreck,
2004).
Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat menjadi penentu pendorong
terjadinya diare. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling penting, sehingga untuk penanggulangan diare
diperlukan upaya perbaikan sanitasi lingkungan (Zubir
dkk, 2006).
Seseorang yang daya tahan tubuhnya kurang, maka akan mudah terserang penyakit. Penyakit tersebut
antara lain diare, kolera, campak,
tifus, malaria, demam berdarah dan influenza (Slamet, 2002).
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Diare
Faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian penyakit diare antara lain:
1. Faktor Sanitasi Lingkungan
a. Sumber Air Minum
Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.
Kebutuhan manusia akan air
sangat kompleks
antara lain untuk minum, masak, mencuci,
mandi dan sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk
minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai
persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia termasuk diare. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air
bersih adalah (Depkes
RI, 2000)
:
1) Mengambil air dari sumber air yang bersih
2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih
dan tertutup, serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air
3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran
oleh binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum
dengan sumber pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah dan air
limbah harus lebih dari 10 meter.
4) Menggunakan air yang direbus
5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air
yang bersih dan cukup
Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan
sehari-hari, maka masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih
menjadi air minum. Sumber-sumber air minum tersebut seperti
(Putri, 2010) :
1) Air Hujan atau Penampungan Air Hujan (PAH)
Air hujan dapat
ditampung kemudian dijadikan air minum. Tetapi air hujan ini tidak mengandung
kalsium. Oleh karena itu, agar dapat dijadikan air minum yang sehat perlu
ditambahkan kalsium di dalamnya
2) Air Sungai dan Danau
Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau
ini juga dari air hujan yang mengalir melalui saluran-saluran ke dalam sungai
atau danau. Kedua sumber air ini sering disebut air permukaan.
3) Mata Air
Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal
dari air tanah yang muncul secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air
ini, bila belum tercemar oleh kotoran sudah dapat dijadikan air minum langsung,
tetapi karena belum yakin apakah betul belum tercemar, maka sebaiknya air
tersebut direbus terlebih dahulu sebelum diminum.
4) Air Sumur Dangkal
Air
ini keluar dari dalam tanah, maka juga disebut air tanah. Dalamnya lapisan air
ini dari permukaan tanah dari tempat yang satu ke tempat yang lain
berbeda-beda. Biasanya berkisar antara 5 sampai dengan 15 meter dari permukaan
tanah.
5) Air
Sumur Dalam
Air
ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan tanah biasanya di
atas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian besar air minum dalam ini sudah cukup
sehat untuk dijadikan air minum yang langsung (tanpa melalui proses pengolahan).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004)
kelompok kasus sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air minum yang
memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan sumur
terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan
risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar 2,5 kali lipat
dibandingkan keluarga yang menggunakan sumber air minum yang memenuhi syarat
sanitasi.
b. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat)
Mansjoer (2004) dalam Putri (2010), PHBS adalah perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran
sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dibidang
kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan dimasyarakat. Wujud keberdayaan masyarakat yang sadar, mau dan mampu
mempraktekkan PHBS dalam lingkungan sekitarnya agar tidak berisiko diare.
Dalam lingkup rumah
tangga, untuk ber-PHBS kegiatanya cukup banyak seperti tidak merokok, dalam
rumah, memberikan ASI
Eksklusif, menimbang balita secara rutin,
memberantas jentik nyamuk, dan lain-lain, sebagaimana tercangkup dalam Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM), ada 5
pilar PHBS yaitu (Hiswani, 2003) :
1. Stop Buang Air Besar Sembarangan.
2. Cuci Tangan Pakai Sabun.
3. Pengolahan Air Minum Rumah Tangga
4. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
5. Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga
c. Jenis
Lantai Rumah
Notoatmodjo
(2003), syarat rumah yang sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim
kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat dari : ubin atau semen, kayu, dan tanah yang
dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat menimbulkan sarang penyakit.
Lantai
dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah
dibersihkan, paling tidak perlu diplaster dan akan lebih baik kalau dilapisi
ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002).
Sanropie dalam Zubir dkk (2006), jenis lantai rumah
tinggal mempunyai hubungan yang bermakna pula dengan kejadian diare pada anak
balita. Hal ini ditinjau dari jenis alas atau bahan dasar penutup bagian bawah,
dinilai dari segi bahan dan kedap air. Lantai dari tanah lebih baik tidak
digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab hingga dapat menimbulkan
gangguan atau penyakit pada penghuninya (disemen, dipasang keramik, dan
teraso). Lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah
masuknya air ke dalam rumah.
d. Pemanfaatan Jamban
Entjang (2000),
pemanfaatan jamban adalah tersedianya sarana pembuangan
tinja/kotoran manusia milik pribadi yang memenuhi syarat kesehatan/jamban sehat
dan dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa selain
sumber air minum, tempat pembuangan tinja juga merupakan sarana sanitasi yang
penting berkaitan dengan kejadian diare. Penyakit-penyakit diare ditularkan
melalui jalur fekal-oral. Itulah sebabnya, pembuangan tinja akan lebih aman
mengurangi risiko diare. Penggunaan jamban yang benar dapat mengurangi risiko
diare lebih baik dari pada perbaikan sumber air, walaupun dampak yang paling
tinggi dapat diharapkan dari gabungan kebersihan dan perbaikan sumber air.
Entjang (2000),
macam-macam tempat pembuangan tinja, antara lain:
1) Pit-privy
(Cubluk)
Kakus
ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm
sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu atau bata, dan dapat
ditembok ataupun tidak agar tidak mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15
tahun. Bila permukaan penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50 cm dari
permukaan tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk yang penuh ditimbun dengan
tanah. Ditunggu 9-12 bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan
lubangnya dapat dipergunakan kembali.
2) Aqua-privy
(Cubluk berair)
Terdiri
atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan tinja.
Proses pembusukannya sama seperti halnya pembusukan tinja dalam air kali. Untuk
kakus ini, agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik
sedang dipergunakan atau tidak.
3) Watersealed latrine
(Leher Angsa)
Jamban
jenis ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan, oleh sebab itu cara
pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk
leher angsa, sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai
sumbat, sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.
4)
Bored
hole latrine
Sama dengan cubluk, hanya ukurannya lebih
kecil karena untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.
5) Bucket latrine
(Pail closet)
Tinja
ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain, misalnya
untuk penderita yang tidak dapat meninggalkan tempat tidur.
6)
Trench
latrine
Dibuat
lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat penampungan tinja. Tanah
galiannya dipakai untuk menimbuninya.
7)
Overhung
latrine
Kakus
ini semacam rumah-rumahan yang dibuat di atas kolam, selokan, kali dan rawa.
8) Chemical toilet
(Chemical closet)
Tinja
ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga dihancurkan
sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum, misalnya pesawat
udara atau kereta api. Dapat pula digunakan dalam rumah sebagai pembersih tidak
dipergunakan air, tetapi dengan kertas (toilet
paper).
Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo,2004)
jenis tempat pembuangan tinja yang
terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan
7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban.
BAB 3
KERANGKA
KONSEP
3.1 Dasar
Pemikiran Variabel yang
Diteliti
Secara umum faktor
risiko diare
pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air
bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku
hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi,
malabsorpsi, keracunan, immune defisiensi
serta sebab-sebab lain.
Pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrinsik dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan perilaku ibu atau pengusaha balita karena balita masih belum
bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung pada lingkunganya, jadi
apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan
sehat maka kejadian diare
pada balita tidak dapat dihindari.
3.1.1 Sumber
Air Minum
|
Persyaratan untuk
penyediaan air bersih yang mengusahakan dari sumur sendiri perlu memperhatikan
kualitas air sumurnya dengan selalu memperhatikan kontruksi sumur, sumber
pencemar dan cara pengolahan sebelum dikonsumsi. Sedangkan untuk yang sumbernya
dari PDAM, perlu diperhatikan back
siphonage dan cross conection. (Sarudji, 2006).
Berdasarkan hasil
penelitian (Wibowo, 2004) kelompok kasus sebesar 68,25% keluarga menggunakan
sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%)
menggunakan sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita
sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan sumber air minum
yang memenuhi syarat sanitasi.
3.1.2 Jenis Lantai Rumah
Notoatmodjo (2003), syarat rumah yang sehat jenis lantai
yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan.
Lantai rumah dapat dari : semen atau
kayu, dan tanah yang dipadatkan. Lantai yang basah dan berdebu dapat
menimbulkan sarang penyakit.
Lantai dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan
lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, paling tidak perlu diplaster dan
akan lebih baik kalau dilapisi tehel atau keramik yang mudah dibersihkan
(Depkes RI, 2002).
Sanropie dalam
Zubir (2006), jenis lantai rumah tinggal mempunyai hubungan yang bermakna pula
dengan kejadian diare pada anak balita. Hal ini ditinjau dari jenis alas atau
bahan dasar penutup bagian bawah, dinilai dari segi bahan dan kedap air. Lantai
dari tanah lebih baik tidak digunakan lagi, sebab bila musim hujan akan lembab
hingga dapat menimbulkan gangguan atau penyakit pada penghuninya (disemen,
dipasang keramik, dan teraso). Lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan
tanah untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah.
3.1.3 Pemanfaatan Jamban
Dalam hal pemanfaatan
sanitasi, masyarakat
umumnya memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian,
sebelum dialirkan ke sungai.
Khusus bagi masyarakat , meski memiliki toilet dirumah, mereka juga masih
memanfaatkan “toilet terbuka” seperti sungai atau empang. Masyarakat menjadikan
kepraktisan dan norma umum (semua orang melakukanya) sebagai alasan utama untuk
menyalurkan kotorannya kesungai. tidak heran, sungai-sungai di
Indonesia bisa disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat Indonesia
umumnya menggunakan sungai untuk buang air. Masyarakat urban diperkotaan yang
tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak
mempunyai lahan besar untuk membangun septic tank karena itu, mereka biasanya tak memiliki
jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi pembatas
semen. Kala hujan tiba, kotoran yang ada ditanah terbawa air hujan masuk ke
dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya
diare (Hiswani, 2003).
Berdasarkan hasil
penelitian (Wibowo, 2004)
jenis tempat pembuangan tinja yang
terbanyak digunakan pada kelompok kasus adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan
7,9% menggunakan jenis plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban.
3.2 Kerangka
Pikir Variabel Penelitian
Kejadian Diare
|
Pemanfaatan Jamban
|
Jenis Lantai Rumah
|
PHBS
|
Sumber Air Minum
|
Gambar 3.2 Bagan Variabel Penelitian
|
|
:
Variabel terikat
:
Variabel yang diteliti
:
Variabel yang tidak diteliti
3.3 Definisi Operasional
1. Kejadian Diare
Kejadian
diare adalah
buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih
sering dari biasanya (tiga kali atau lebih dalam sehari).
2. Sumber
Air Minum
Sumber
air minum adalah sarana air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk diminum
dan digunakan dalam keperluan sehari-hari yang memenuhi syarat kualitas fisik
(tidak berasa, tidak berwarna,tidak berbau)
3. Jenis Lantai Rumah
Jenis lantai Rumah adalah keadaan lantai responden
berdasarkan bahannya.
4. Pemanfaatan Jamban
Pemanfaatan jamban adalah tersedianya sarana
pembuangan tinja/kotoran manusia milik pribadi yang memenuhi syarat
kesehatan/jamban sehat dan dimanfaatkan dengan baik.
3.4
Kriteria Obyektif
Dalam menentukan
kriteria objektif (ya dan tidak)
peneliti menggunakan skala guttman
dengan menggunakan skor terhadap setiap jawaban responden untuk setiap variabel
yang diteliti dengan jumlah pertanyaan sebanyak 3 pertanyaan untuk variabel kejadian diare, 3 pertanyaan untuk variabel sumber air
minum, 2 pertanyaan untuk variabel jenis lantai rumah dan
3 pertanyaan untuk variabel pemanfaatan jamban. Bila responden menjawab YA akan mendapatkan nilai 1 sedangkan jawaban
TIDAK akan mendapatkan nilai 0, sehingga nilai tertinggi adalah 1 dan nilai
terendah adalah 0 (Sugiono, 2003). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rumus
interval kelas :
Keterangan:
Range
(R) : skor tertinggi - skor terendah = 100 - 0 = 100
Kategori
(K) : 2
adalah banyaknya kriteria yang disusun pada kriteria objektif suatu variabel
Interval
(I) = 100 / 2 = 50%
Kriteria penilian = skor tertinggi - interval = 100 - 50
= 50%,
1. Kriteria Obyektif Kejadian Diare
Variabel kejadian diare diukur dengan menilai
jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan dibagi dengan total nilai jawaban
tertinggi kemudian dipersentasekan. Jumlah pertanyaan untuk kejadian diare ada 3 dan total nilai adalah 3. Jawaban benar bernilai 1 dan jawaban salah
bernilai 0.
a. Alat Ukur
: Kuisioner
b. Skala
Pengukuran : Guttman
c. Kriteria Obyektif
Diare : Apabila jawaban responden ≥ 50%
Tidak Diare : Apabila jawaban responden < 50%
2. Kriteria Obyektif Sumber Air Minum
Variabel sumber air minum diukur dengan nilai jawaban dari setiap
pertanyaan yang diajukan dibagi dengan total nilai jawaban tertinggi kemudian
dipersentasekan. Jumlah pertanyaan untuk sumber air minum ada 3
dan total nilai adalah 3. Jawaban benar bernilai 1 dan jawaban salah
bernilai 0.
a. Alat Ukur : Kuisioner
b.
Skala Pengukuran : Guttman
c.
Kriteria
Obyektif
Memenuhi Syarat : Apabila jawaban responden >50%
Tidak Memenuhi Syarat
: Apabila jawaban responden <50%
3. Kriteria Obyektif Jenis Lantai Rumah
Variabel
jenis lantai rumah diukur
dengan nilai jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan dibagi dengan total
nilai jawaban tertinggi kemudian dipersentasekan. Jumlah pertanyaan untuk jenis lantai rumah ada 2
dan total nilai adalah 2. Jawaban benar bernilai 1 dan jawaban salah
bernilai 0.
a. Alat ukur : Kuisioner
b. Skala
Pengukuran : Guttman
c.
Kriteria
Obyektif
Memenuhi Syarat : Apabila
jawaban responden ≥ 50%
Tidak Memenuhi Syarat : Apabila jawaban responden
< 50%
4. Kriteria Obyektif Pemanfaatan Jamban
Variabel
pemanfaatan jamban diukur dengan nilai jawaban dari setiap
pertanyaan yang diajukan dibagi dengan total nilai jawaban tertinggi kemudian
dipersentasekan. Jumlah pertanyaan untuk pemanfaatan jamban ada 3
dan total nilai adalah 3. Jawaban benar bernilai 1 dan jawaban salah
bernilai 0.
a.
Alat
Ukur : Kuisioner
b.
Skala Pengukuran : Guttman
c.
Kriteria
Obyektif
Di manfaatkan : Apabila
jawaban responden ≥ 50%
Tidak dimanfaatkan : Apabila jawaban
responden < 50%
3.5 Hipotesis Penelitian
1. Ho : Tidak ada hubungan sumber air minum dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
Ha : Ada hubungan sumber air minum dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
2. Ho : Tidak ada hubungan jenis lantai rumah dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
Ho : Ada hubungan jenis lantai rumah dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
3. Ha : Ada hubungan pemanfaatan jamban dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kelurahan Lamangga Kecamatan
Murhum Kota Baubau.
Ho : Tidak ada hubungan pemanfaatan jamban dengan
kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian dalam bentuk survei dengan metode rancangan Cross Sectional Studi, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode
waktu tertentu dan setiap subjek study
hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian (Machfoedz, 2007).
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di
wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau pada tanggal 7
September sampai dengan 14 September 2013.
4.3 Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi
dan penelitian ini adalah seluruh KK yang mempunyai balita yang bertempat
tinggal di wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum yaitu sebanyak 363
orang berdasarkan data bulan Januari sampai Mei 2013.
2. Sampel
Besar sampel dapat
dihitung dengan rumus Prasetyo (2005) sebagai berikut :
N
n =
1 + Ne2
Keterangan:
n : Sampel
N : Populasi
E : Nilai kritis (batas ketelitian) yang
diinginkan (batas kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan
sampel) yaitu 10%
Berdasarkan rumus di
atas, maka besar sampel pada penelitian ini adalah:
N
=
1+Ne2
363
=
1+363 x (0,1)2
363
=
1+(363 x
0,01)
363
= = 78,40 dibulatkan =
78
4,63
Jadi sampel yang
diambil sebanyak 78 KK
Penentuan
responden dilakukan dengan teknik Proporsional
Random Sampling. Pengambilan sampel
secara proporsi dilakukan dengan mengambil subyek dari setiap strata atau
kelurahan ditentukan seimbang dengan banyak subyek dalam masing-masing strata
atau kelurahan (Arikunto dalam Henniwati, 2008). Kemudian dilakukan sampel insidental sampling yaitu teknik penentuan
sampel berdasarkan kebetulan siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai
sumber data (Sugiyono, 2003).
Dimana wilayah kerja Puskesmas Wajo terdiri dari tiga
kelurahan yaitu, Kelurahan Wajo, Tanganapada dan Lamangga. Sampel untuk masing-masing kelurahan dengan mengunakan rumus Gulo (2005).
keterangan
:
n1 = besar sampel masing-masing kelurahan
n = jumlah balita di masing-masing kelurahan
N =
jumlah seluruh balita
N1
= besar sampel yang ditarik dari
populasi
2.
3.
4.4 Teknik
Pengumpulan Data
4.4.1 Data Primer
Data
primer merupakan data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari responden
atau tempat objek penelitian dilakukan (Siregar dalam Aim, 2013). Teknik
pengumpulan data dalam penelitian dengan memberikan kuisioner kepada responden.
Kuisioner yaitu teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada
responden dengan berpedoman kepada kuisioner.
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari
Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau tahun 2013.
4.5
Pengolahan, Penyajian dan Analisis
Data
4.5.1 Pengolahan
Data
Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan program SPSS
Versi 15,0 for Windows dan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang disertai dengan penjelasan.
Data
yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data, selanjutnya diteliti ulang
dan diperiksa ketepatan atau kesesuaian jawaban serta kelengkapan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Editing : melakukan
pengeditan terhadap data yang ada.
b. Coding : memberikan
kode pada jawaban kuesioner yang nantinya akan memudahkan proses dengan
komputer.
c. Entry data : memasukkan/input data ke komputer.
d. Tabulating : melakukan
rekapitulasi data dari jawaban
responden dalam bentuk tabel.
4.5.2 Penyajian
Data
Dalam
penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel yang telah dianalisis dan
disertai narasi.
4.5.3 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis
univariat bertujuan untuk melihat distribusi frekuensi dan presentase tiap
variabel yang diteliti. Dalam hal ini variabel yang diteliti adalah sumber air
minum, jenis lantai rumah dan pemanfaatan jamban.
2. Analisis Bivariat
Analisis
bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat. Dalam analisis bivariat ini menggunakan uji Chi Square pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan bantuan
program SPSS.
Uji statistik dengan
menggunakan Rumus Chi-Square :
n ((ad – bc) – (0.5.n))²
X² =
(a+c) (b+d) (a+b) (c+d)
Keterangan tabel kontugensi
2x2:
|
Taraf 1
|
Taraf 2
|
Taraf 3
|
Taraf 1
|
a
|
b
|
a + b
|
Taraf 2
|
c
|
d
|
c + d
|
Taraf 3
|
a + c
|
b + d
|
n
|
Dasar
pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada tingkat (nilai p) yaitu:
a. Jika
nilai p value < 0,05 atau
>
(3,841) maka Ho ditolak dan
Ha diterima yang berarti ada hubungan bermakna antara variabel yang diteliti.
b. Jika
nilai p value > 0,05 atau
<
(3,841) maka Ho diterima dan
Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel yang
diteliti.
BAB
5
HASIL
DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Letak
Geografis
Puskesmas Wajo terletak di Kelurahan Lamangga
yang merupakan salah satu Puskesmas dari empat buah Puskesmas yang berada di
Kecamatan Murhum. Puskesmas Wajo berjarak kurang lebih 2 kilometer ke arah
Selatan dari Pusat Kota Baubau. Wilayah kerja Puskesmas Wajo sebagian terdiri
dari daerah dataran dan sebagian lagi adalah daerah yang berbukit-bukit namun
masih dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat.
5.1.2 Batas
dan Luas Wilayah Puskesmas Wajo
a. Sebelah
Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Meo-Meo.
b. Sebelah
Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Katobengke.
c. Sebelah
Barat berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Betoambari.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja
Puskesmas Bataraguru dan wilayah kerja Puskesmas Melai.
Adapun
wilayah kerja Puskesmas Wajo terdiri dari 3 Kelurahan yang masing-masing
sebagai berikut :
a. Kelurahan
Lamangga dengan luas wilayah kurang lebih 0,78 km2
b. Kelurahan
Wajo dengan luas wilayah kurang lebih 1,00 km2.
c. Kelurahan
Tangana Pada dengan luas wilayah kurang lebih 0,75 km2.
5.1.3 Jumlah dan Distribusi Penduduk
Jumlah
penduduk diwilayah kerja Puskesmas Wajo sampai tahun 2012 adalah 12,965 jiwa dengan distribusi sebagai berikut:
Tabel
5.1 Distribusi Jumlah Penduduk
Wilayah Kerja Puskesmas Wajo
No.
|
Kelurahan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1.
|
Wajo
|
2.003
|
2,065
|
4,068
|
2.
|
Lamangga
|
2,448
|
2,516
|
4,964
|
3.
|
Tanganapada
|
1,872
|
2,061
|
3,933
|
|
Jumlah
|
6,323
|
6,642
|
12,965
|
Sumber : Data Sekunder, 2012
5.1.4 Ketenagaan
Ketenagaan yang ada di
Puskesmas Wajo terdiri dari:
a. Dokter
Umum :
2 orang
b. Dokter
Gigi :1
orang
c. Apoteker
:
1 orang
d. Paramedis
Perawatan
1. Perawat : 1 orang
2. Akademi
Perawat : 15
orang
3. Bikor :
1 orang
4. Bidan
Puskesmas : 3 orang
5. Bidan
Desa
: 3 orang
6. Bidan
Perawatan : 1
orang
7. Perawat
Gigi :
1 orang
e. Paramedis
Non Perawatan
1. Akademi
Gizi :
5 orang
2. Akademi
Kesehatan lingkungan : 2 orang
3. Apoteker : 1 orang
4. Asisten Apoteker :
1 orang
5. Sarjana
Sosial :
1 orang
6. SMA :
1 orang
7. Laboran :
4 orang
f. Tenaga
Sukarela
1.
Dokter Umum : 1 orang
2.
Apoteker : 1 orang
3.
D3 Apoteker : 2 orang
4.
Akademi Perawat : 14 orang
5.
Akademi Perawat gigi : 1 orang
5.1.5 Sarana dan Prasarana
1. Puskesmas
Induk :
1 Buah
2. Puskesmas
Pembantu : 1 Buah
3. Polindes : 0 Buah
4. Posyandu : 18 Buah
5. Pos
Obat Desa : 3 Buah
6. Bakesra : 2 Buah
7. Poskesdes : 3 Buah
8. Sarana
Pembantu/Penunjang
a) Kendaraan
roda empat : 1 Buah
b) Kendaraan
roda dua : 23 Buah
c) Perumahan
Dokter Umum : 1 Buah
d) Perumahan
Dokter Gigi : 1 Buah
e) Perumahan
Paramedis : 2 Buah
5.1.6 Tenaga Non Kesehatan
1. PPLKB
/ PLKB : 3 Orang
2. Kader
Posyandu : 40
Orang
3. Kader
Pos Obat Desa : 3 Orang
4. Kader
Kesehatan Lingkungan : 10 Orang
5. Dukun
Bayi :
a) Terlatih
: 20 Orang
b) Tidak
Terlatih : 4 Orang
5.2 Hasil
Penelitian
5.2.1 Analisis Univariat
a. Umur
Tabel 5.2
Distribusi Respponden
Berdasarkan Umur Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Umur Ibu
|
Frekuensi (n)
|
Presentasi (%)
|
21 – 24
25 – 28
29 – 32
33 – 36
37 - 40
41 – 44
45 – 48
49 – 52
|
3
22
20
14
12
3
2
2
|
3,8
28,3
25,6
17,9
15,4
3,8
2,6
2,6
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber:
Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa responden yang
memiliki umur paling banyak yaitu umur 25–28 sebanyak 22 orang (28,3%) dan umur
yang paling sedikit yaitu umur 45–48 dan 49–52 masing-masing sebanyak 2 orang
(2,6%).
b. Pekerjaan
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di
Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Pekerjaan
|
Frekuensi (n)
|
Presentasi (%)
|
GTT
GURU
IRT
PNS
PTT
WIRASWASTA
|
2
2
58
6
4
6
|
2,6
2,6
74,4
7,7
5,1
7,7
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber
: Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa responden yang
memiliki pekerjaan paling banyak yaitu IRT (Ibu Rumah Tangga) sebanyak 58 orang
(74,%) dan pekerjaan yang paling sedikit yaitu GTT (Guru Tidak Tetap) Guru
masing-masing sebanyak 2 orang (2,6%).
c. Pendidikan
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Pendidikan
|
Frekuensi (n)
|
Presentasi (%)
|
SMP
SMA
D3
S1
S2
|
12
46
5
14
1
|
15,4
59,0
6,4
17,9
1,3
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa
responden yang berpendidikan paling banyak yaitu SMA sebanyak 46 orang (59,0%)
dan responden yang berpendidikan paling sedikit yaitu S2 sebanyak 1 orang
(2,6%).
d. Umur
Anak
Tabel 5.5 Distribusi
Responden Berdasarkan Umur Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Umur Anak (Tahun)
|
Frekuensi (n)
|
Presentasi (%)
|
1
2
3
4
5
|
20
17
11
17
13
|
25,6
21,8
14,1
21,8
16,7
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki umur anak paling
banyak yaitu umur 1 tahun sebanyak 20 orang (25,6%) dan responden yang memiliki
umur anak paling sedikit yaitu umur 3 tahun sebanyak 11 orang (2,6%).
e. Jenis
Kelamin
Tabel 5.6 Distribusi
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Jenis
Kelamin
|
Frekuensi
(n)
|
Presentasi (%)
|
Laki-laki
Perempuan
|
53
25
|
67,9
32,1
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber
: Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5.6 menunjukan bahwa
responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 53 orang (67,9%), responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (32,1%).
f. Kejadian
Diare
Tabel 5.7 Distribusi
Responden Berdasarkan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota
Baubau
Kejadaian
Diare
|
Frekuensi
(n)
|
Presentasi
(%)
|
Tidak Diare
Diare
|
60
18
|
76,9
23,1
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber
: Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5.7 menunjukan bahwa 60 responden tidak diare (76,9%), dan 18 responden
diare (23,1%).
g. Sumber
Air Minum
Tabel 5.8 Distribusi
Responden Berdasarkan Sumber Air Minum di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota
Baubau
Sumber Air Minum
|
Frekuensi
(n)
|
Presentasi
(%)
|
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
|
55
23
|
70,5
29,5
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber
: Data Primer, 2013
Berdasarkan Tabel 5.8 menunjukan bahwa
responden berdasarkan sumber air minum memenuhi syarat berjumlah 55 orang
(70,5%), dan responden berdasarkan Sumber air minum yang tidak memenuhi
syarat 23 orang (29,5%).
h. Jenis
Lantai Rumah
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Lantai
Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Jenis
Lantai rumah
|
Frekuensi
(n)
|
Presentasi
(%)
|
Memenuhi Syarat
|
49
|
62,8
|
Tidak Memenuhi
Syarat
|
49
|
37,2
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer,
2013
Berdasarkan Tabel 5.10
menunjukkan bahwa 49 responden memenuhi syarat jenis lantai rumah (62,8%) dan
49 responden tidak memenuhi syarat jenis lantai rumah (37,2%).
i. Pemanfaatan
Jamban
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan
Jamban di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Pemanfaatan Jamban
|
Frekuensi (n)
|
Presentasi (%)
|
Memanfaatkan
Tidak
Memanfaatkan
|
44
34
|
56,4
43,6
|
Total
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.9 menunjukan bahwa 44 responden memanfaatkan pemanfaatan jamban (56,4%)
dan 34 responden tidak memanfaatkan pemanfaatan jamban (43,6%).
5.2.2 Analisis
Bivariat
a. Sumber
Air Minum
Tabel 5.11 Hubungan Sumber Air Minum dengan Kejadian Diare
di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Sumber Air
Minum
|
Kejadian Diare
|
Jumlah
|
p value
|
||||
Tidak Diare
|
Diare
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
N
|
%
|
||
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
|
48
12
|
87,3
52,2
|
7
11
|
12,7
47,8
|
55
23
|
100
100
|
0,002
|
Jumlah
|
60
|
76,9
|
18
|
23,1
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa responden yang memiliki sumber air minum memenuhi syarat dan tidak diare sebanyak 48 orang
(87,3%), responden yang diare sebanyak 7 orang (12,7%). Sedangkan responden
yang memiliki sumber air minum tidak memenuhi syarat dan tidak diare sebanyak
12 orang (52,2%), responden yang diare sebanyak 11 orang (47,8%).
Berdasarkan
uji statistik Chi Square memperlihatkan
nilai p value = 0,002 < α (0,05)
yang berarti H0 ditolak dan Ha diterima sehingga uji
statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara sumber air minum
dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota
Baubau.
b. Jenis
Lantai Rumah
Tabel 5.12 Hubungan
Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota
Baubau
Jenis Lantai
Rumah
|
Kejadian Diare
|
Jumlah
|
p
value
|
||||
Tidak Diare
|
Diare
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
N
|
%
|
||
Memenuhi Syarat
Tidak Memenuhi Syarat
|
43
17
|
87,8
58,6
|
6
12
|
12,2
41,4
|
49
29
|
100
100
|
0,008
|
Jumlah
|
60
|
79,6
|
18
|
23,1
|
78
|
100
|
Sumber : Data Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa responden yang memiliki jenis lantai rumah
memenuhi syarat dan
tidak diare sebanyak 43 orang (87,8%),
responden yang diare sebanyak 6 orang (12,2%). Sedangkan responden yang memiliki
jenis lantai rumah tidak memenuhi syarat dan tidak diare sebanyak 17 orang (52,2%),
responden yang diare sebanyak 12 orang (41,4%).
Berdasarkan uji statistik Chi Square memperlihatkan nilai p value = 0,008 >α (0,05) yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare diwilayah kerja
Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
c. Pemanfaatan
Jamban
Tabel 5.13 Hubungan Pemanfaatan Jamban dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kota Baubau
Pemanfaatan
Jamban
|
Kejadian Diare
|
Jumlah
|
p value
|
||||
Tidak Diare
|
Diare
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
N
|
%
|
||
Memanfaatan
Tidak Memanfaatan
|
38
22
|
87,3
52,2
|
6
12
|
13,6
35,3
|
44
34
|
100
100
|
0,048
|
Jumlah
|
60
|
76,9
|
18
|
23,1
|
78
|
100
|
Sumber : Data
Primer, 2013
Berdasarkan
Tabel 5.12 menunjukkan bahwa responden yang memanfaatkan jamban dan tidak diare sebanyak 38
orang (87,3%), responden yang diare sebanyak 6 orang (13,6%). Sedangkan responden
yang tidak memanfaatkan jamban dan
tidak diare sebanyak 22 orang (52,2%), responden yang diare sebanyak 12 orang (35,3%).
Berdasarkan
uji Chi Square memperlihatkan nilai p
value =0,048 < α (0,05) yang
berarti ada hubungan yang signifikan antara pemanfaatan jaban dengan kejadian
diare di wilayah kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau.
5.3 Pembahasan
5.3.1 Hubungan Sumber Air Minum dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau
Air
sangat penting bagi kehidupan
manusia. Di dalam
tubuh manusia sebagian besar
terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat badan terdiri
dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%. Kebutuhan
manusia akan air
sangat kompleks antara lain untuk
minum, masak, mandi,
mencuci dan sebagainya.
Di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter
per hari. Di antara
kegunaan-kegunaan air tersebut,
yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum.
Oleh karena itu,
untuk keperluan minum dan
masak air harus mempunyai persyaratan
khusus agar air tersebut
tidak menimbulkan penyakit
bagi manusia (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
analisis hubungan sumber air minum dengan kejadian diare menunjukkan bahwa dari
55 responden yang memiliki sumber air minum memenuhi syarat dan tidak diare
sebanyak 48 orang (87,3%), responden yang mengalami
diare sebanyak 7 orang (12,7%). Hal ini menunjukkan bahwa air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat
tidak berbau, berasa dan tidak berwarna (bening). Mayoritas sumber air minum
yang digunakan adalah air sumur yang masih terjaga kebersihannya.
Sumber
air minum utama
merupakan salah satu
sarana sanitasi yang tidak kalah
pentingnya berkaitan dengan
kejadian diare. Sebagian kuman infeksius
penyebab diare ditularkan
melalui jalur fekal
oral. Mereka dapat ditularkan
dengan memasukkan ke dalam
mulut, cairan atau benda
yang tercemar dengan
tinja, misalnya air
minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan
dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2000).
Hasil penelitian ini juga menunujukkan bahwa
dari 23 responden yang memiliki sumber air minum tidak memenuhi syarat dan tidak
diare sebanyak 12 orang (52,2%), responden yang mengalami diare sebanyak 11 orang (47,8%). Hal ini
menunjukkan bahwa air minum yang digunakan masyarakat tidak langsung diolah
terlebih dahulu seperti dimasak. Selain itu juga tempat penampungan airnya
tidak terlindung dan jarang dibersihkan sehingga air tersebut sangat mudah
untuk terkontaminasi oleh bakteri-bakteri atau mikroorganisme patogen.
Air
mungkin sudah tercemar
dari sumbernya atau
pada saat disimpan dirumah.
Pencemaran dirumah dapat
terjadi kalau tempat peyimpanan tidak tertutup atau tangan
yang tercemar menyentuh air pada saat
mengambil air dari
tempat penyimpanan. Untuk
mengurangi risiko terhadap diare
yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari
kontaminasi (Depkes RI, 2005).
Hasil
penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian
Zubir (2006), tentang faktor-faktor risiko kejadian diare
akut pada anak
0-35 bulan (Batita) di
Kabupaten Bantul. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sumber
air minum yang
digunakan mempengaruhi terjadinya diare akut dengan nilai p < 0,05 , (OR) =
3,10, dan hasil penelitian Yulisa (2008), yang menunjukkan bahwa
ada pengaruh sumber
air minum dengan kejadian diare pada balita dengan
nilai p = 0,0001 dan OR = 17,7.
5.3.2 Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau
Syarat rumah yang sehat jenis lantai yang tidak
berdebu pada musim
kemarau dan tidak
basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat terbuat
dari: ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan. Lantai
yang basah dan berdebu dapat menimbulkan sarang penyakit (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
analisis hubungan jenis lantai rumah dengan kejadian diare menunjukkan bahwa
dari 49 responden yang memiliki jenis lantai rumah memenuhi syarat dan tidak diare
sebanyak 43 orang (87,8%), responden yang mengalami
diare sebanyak 6 orang (12,2%). Hal ini menunjukkan bahwa lantai rumah
responden memang kebanyakan terbuat dari semen dan keramik akan tetapi kurang
diperhatikan kebersihannya sehingga lebih mudah terkontaminasi oleh bakteri
patogen khususnya bakteri E.Coli.
Jenis
lantai rumah tinggal
mempunyai hubungan yang
bermakna pula dengan
kejadian diare pada
anak balita, Hal ini
ditinjau dari jenis alas atau bahan dasar penutup bagian
bawah, dinilai dari segi bahan dan kedap
air. Lantai dari tanah
lebih baik tidak digunakan
lagi, sebab bila musim
hujan akan lembab
sehingga dapat menimbulkan gangguan atau penyakit pada penghuninya, oleh karena
itu perlu dilapisi dengan lapisanyang kedap air (disemen, dipasang keramik, dan
teraso). Lantai dinaikkan kira-kira 20 cm dari permukaan tanah untuk mencegah
masuknya air ke dalam rumah (Sanropie dalam Wulandari, 2009).
Hasil penelitian ini juga menunujukkan bahwa
dari 29 responden
yang memiliki jenis lantai rumah tidak memenuhi syarat dan tidak diare sebanyak
17 orang (58,6%), responden yang mengalami
diare sebanyak 12 orang (41,4%). Hal ini menunjukkan bahwa jenis lantai rumah
yang tidak memenuhi syarat maka berbanding lurus dengan peningkatan kejadian
diare.
Lantai tidak kedap air yang berupa lantai
tanah akan menyebabkan ruangan kotor dan menjadi sarang mikroorganisme serta
mudah menyerap air yang mungkin air tersebut juga mengandung mikroorganisme.
Aktivitas balita responden yang bermain di lantai rumah
dapat menyebabkan kontak
antara lantai rumah
yang tidakkedap air dengan tubuh balita. Keadaan ini memunculkan
berbagai kuman penyakit yang menempel pada tubuh balita (Notoatmodjo, 2003).
Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Yulisa
(2008), yang menunjukkan ada
pengaruh jenis lantai rumah
terhadap kejadian diare
pada balita dengan
nilai p = 0,005 dan OR = 0,0001.
5.3.3 Hubungan Pemanfaatan Jamban dengan Kejadian
Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo Kecamatan Murhum Kota Baubau
Pembuangan
tinja yang tidak menurut
aturan memudahkan terjadinya
penyebaran penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja antara lain
penyakit diare (Notoatmodjo,
2003).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
analisis hubungan pemanfaatan jamban dengan kejadian diare menunjukkan bahwa
dari 44 responden yang memanfaatkan jamban dan tidak diare sebanyak 38
orang (86,4%), responden yang mengalami
diare sebanyak 6 orang (13,6%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pemanfaatan jamban maka berbanding lurus dengan penurunan kasus diare.
Penggunaan
jamban mempunyai dampak
yang besar dalam penularan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban sebaiknya membuat jamban dan
keluarga harus buang air besar di jamban.
Bila tidak mempunyai
jamban, jangan biarkan
anak-anak pergi ke tempat buang
air besar hendaknya jauh
dari rumah, jalan
setapak,tempat anak-anak bermain dan harus berjarak kurang lebih 10
meter dari sumber air, serta hindari buang air besar tanpa alas kaki (Depkes
RI, 2005).
Hasil penelitian ini juga menunujukkan bahwa
dari 34 responden
yang tidak memanfaatkan jamban dan
tidak diare sebanyak 22 orang (64,7%), responden yang mengalami diare sebanyak 12 orang
(35,3%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat yang belum
memiliki jamban pribadi, sehingga apabila mereka
buang air besar
mereka menumpang di
jamban tetangga, buang air
besar di semak-semak
atau kebun dekat rumah. Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada
sebagian ibu yang tidak membuang tinja
balita dengan benar, mereka
membuang tinja balita
ke semak-semak atau kebun dekat rumah. Mereka beranggapan
bahwa tinja balita tidak berbahaya.
Tempat
pembuangan tinja yang
tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko
terjadinya diare berdarah
pada anak balita sebesar dua
kali lipat dibandingkan
dengan keluarga yang
mempunyai kebiasaan membuang tinjanya
yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004).
Menurut
hasil penelitian Irianto
(1996), anak balita yang
berasal dari keluarga yang menggunakan jamban yang dilengkapi dengan
tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa.
Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus
tanpa tangki septik
12,1% diare terjadi di kota
dan 8,9% di
desa. Kejadian diare
tertinggi terdapat pada keluarga yang mempergunakan sungai sebagai
tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7 di desa.
Hasil
penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Zubir (2006) tentang faktor-faktor risiko kejadian diare
akut pada anak
0-35 bulan (Batita) di
Kabupaten Bantul. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jenis tempat pembuangan tinja mempengaruhi terjadinya diare
akut dengan nilai p<0,05, (OR) = 1,24. Hasil penelitian ini juga mendukung
hasil penelitian Wibowo (2004),
bahwa tempat pembuangan
tinja yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya
diare berdarah pada anak
balita sebesar 2,55
kali lipat dibandingkan
dengan keluarga yang membuang tinjanya secara saniter.
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
di wilayah kerja Puskesmas Wajo, dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. Ada
hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada balita
2. Ada
hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian diare pada balita.
3. Ada
hubungan antara pemanfaatan jamban dengan kejadian diare pada balita.
6.2 Saran
1.
Bagi Intansi Kesehatan
Diharapkan
bagi intansi kesehatan (puskesmas) untuk dapat melakukan peningkatan perbaikan
sarana air bersih, fasilitas jamban
sehat serta mengupayakan peningkatan program penyehatan lingkungan pemukiman
dengan sasaran plesterisasi lantai rumah dan penanganan kualitas air bersih
secara fisik
2. Bagi
Masyarakat
Meningkatkan
tindakan pencegahan terjadinya diare dengan menjaga kebersihan lingkungan dan
melakukan pengolahan air.
DAFTAR PUSTAKA
Aim, Djayanti, 2013. (Skripsi) Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Peran Masyarakat Dalam Pewadahan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan
Wale Kecamatan Wolio Kota Baubau Tahun 2013. Baubau : FKM Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
Andi, 2007. Diare Akibat Infeksi. http://koaskamar13, wordpress.com/ 2007/09/16/Diare-akibat-infeksi/.
Diakses tanggal 20 Juni 2013.
Depkes RI,
2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare.
_________,
2005. Pedoman Pemberantasan
Penyakit Diare. Jakarta : Ditjen PPM
dan PL.
_________, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta.
Entjang,
I., 2000. Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Cetakan ke XIII.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Gulo,
W., 2005. Metodologi Penelitian. www.kumpulan
skripsi.com. Diakses tanggal 10 Januari 2014.
Hiswani,
2003. Diare Meruppakan Salah Satu
Masalah Kesehatan Masyarakat Yang Kejadiannya Sangat Erat Dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan.
http://library.usu.ac.id/download/fkm/ fkmhiswani7.
Pdf. USU Digital Library, Universitas
Sumatera Utara. Jakarta : Ditjen PPM dan
PL.
Machfoedz I, 2007. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, dan Kebidanan. Yogyakarta : Fitramaya.
Mbeu Bernadinus P., 2011. (skripsi) Faktor
Risiko Diare Di Puskesmas Barombong Kecamatan Tamalate kota makassar. Universitas
Hasanuddin Makassar.
Murti, B., 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Jogjakarta : Gajah MadaUniversity press.
Notoamodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
____________, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta
: Rineka Cipta.
Puskesmas Wajo, 2012. Profil Puskesmas Wajo. Baubau
Sarudji,
D., 2006. Kesehatan Lingkungan. Sidoarjo :
Media Ilmu.
Slamet, JS.,
2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sugiyono,
2003. Metode Penelitian Administrasi.
Bandung : Alfabeda
Timmereck CT, 2004. Eidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Kedokteran EGC.
Wibowo T, Soenarto S & Pramono D., 2004.
Teori, Faktor-faktor Resiko Kejadian
Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman.
Widjaja, 2002. Mengatasi
Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta : Kawan Pustaka.
Wulandari, Anjar Purwidiana, 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor
Sosiodemografi dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa Blimbing Kecamatan
Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Yulisa., 2008. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Diare pada
Anak Balita (Studi pada Masyarakat Etnis Dayak Kelurahan Kasongan Baru
Kecamatan Kentingan Hilir Kabupaten Kentingan Kalimantan Tengah).
Universitas Diponegoro.
Zubir, Juifrie, M., dan Wibowo, T., 2006. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut
pada Anak 0-35 Bulan (BATITA) di Kabupaten Bantul. Sains Kesehatan.
LAMPIRAN 1
KUESIONER
HUBUNGAN SANITASI
LINGKUNGAN
DENGAN
KEJADIAN DIARE PADA KELURAHAN KADOLOMOKO KECAMATAN KUKALUKUNA KOTA BAUBAU
I.
Identitas
Responden
1. Nama
a. Ibu :
b. Anak :
2. Umur
a. Ibu :
b. Anak :
3. Jenis
Kelamin
a. Anak :
4. Pendidian :
5. Pekerjaan :
II.
Kejadian
Diare
1.
Apakah anak balita anda pernah
terkena Diare dalam enam bulan
terakhir....?
Ya Tidak
2.
Apakah anak balita anda
dalam satu hari Diare lebih dari 3 kali....?
Ya Tidak
3. Apakah
tinja anak balita anda cair (lembek) dengan atau tanpa lendir dan berdarah....
Ya Tidak
III.
Sanitasi
Lingkungan pada Sumber Air Minum
4. Apakah
anda memiliki sarana air bersih....?
Ya Tidak
5. Jika
Ya, Apakah air bersih yang anda gunakan milik pribadi....?
Ya Tidak
6. Apakah
jenis sumber air yang anda gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari
PDAM....?
Ya Tidak
Jika tidak, sebutkan sumber
air yang anda gunakan !
IV. Sanitasi
Lingkungan pada Pemanfaatan Jamban
7. Apakah
anda memiliki jamban keluarga....?
Ya Tidak
8. Apakah
jenis jamban yang anda gunakan menggunakan lubang leher angsa....?
Ya Tidak
9. Apakah
anda sering membersihkan jamban....?
Ya Tidak
V.
Sanitasi
Lingkungan pada saluran air limbah
10. Apakah jenis lantai yang anda gunakan kedap air (semen, ubin, kramik)....?
Ya
Tidak
11. Apakah lantai rumah anda sering dibersihkan
setiap hari....?
Ya
Tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar