Senin, 15 Oktober 2012

MAKALAH (PESTISIDA) EPIDEMIOLOGI LINGKUNGAN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Pemakaian pestisida sering di lakukan untuk membasmi hama tanaman, akan tetapi pemakaian pestisada  tersebut mempunyai dampak negatif terhadap organisme non target salah satunya paparan pestisida pada petani penyemprot. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot disebabkan oleh beberapa factor determinan, yaitu perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) petani penyemprot, frekuensi penyemprotan, selang waktu kontak penyemprotan, pemakaian alat pelindung diri, dosis pestisida dan lama penyemprotan. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprotan dapat diketahui melalui pengukuran kadar kolinesterase darah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor determinan di atas terhadap kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot. Penelitian ini merupakan explanatory research dan dilakukan dengan metode survey cross sectional . Populasi pada penelitian ini adalah semua petani yang menyemprot tanamanannya dengan pestisida yaitu sebanyak 60 orang petani penyemprot. Sedangkan sampel penelitian adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu akfit dalam menyemprot dan mempunyai selang waktu kontak paling lama 3 hari yang lalu, yang berjumlah 33 orang.

Pestisida merupakan racun yang mempunyai nilai ekonomi bagi petani (economic poisons). Diharapkan pestisida tersebut memiliki kemampuan membasmi organisme selektif (target organisme), tetapi pada prakteknya pemakaian pestisida dapat menimbulkan bahaya pada organism non target. Dampak negatit terhadap organism non target itu meliputi dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran, terdapatnya residu pestisida terhadap tanaman, serta menimbulkan keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian terhadap manusia (Short, 1996, Derache, 1977)

Pada umumnya jenis pestisida yang biasa di gunakan adalah golongan organofosfat dan karbamat, memingat jenis dan golongan pestisida ini dapat mengurangi penguraian oleh unsur alam. Namun demikian golongan ini sangat mudah terabsorbsi pada saluran cerna, saluran pernapasan, atau melalui kulit. Pekerjaan yang mempunyai resiko besar adalah petani penyemprot. Banyaknya kasus keracunan pada petani penyemprot, pada umumnya di sebabkan karna petani tidak mengetahui efek paparan pestisida, yaitu dapat menimbulkan efek muskarinik dan nikotonik sebagai akibat terhambatnya kerja kolinesterase pada ujung saraf perifer, ganglion dan otak (santoso, 2001).

Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan, yaitu antara 8,5% sampai 50 %. Dengan demikian, dapat diperkirakan prevalensi angka keracunan tingkat sedang pada para petani bisa mencapai angka puluhan juta pada musim penyemprotan.  Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida organofosfat antara lain umur, jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan , pendidikan, pemakaian Alat Pelindung Diri, status gizi dan praktek penanganan pestisida. Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan adalah penyimpanan pestisida, pencampuran pestisida, penggunaan pestisida dan pasca penggunaan pestisida.

1.2  Tujuan
Penulisan dalam makalah ini bertujuan yaitu untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan atau paparan pestisida dengan menggunakan pendekatan epidemiologi.

1.3   Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini yaitu agar kita mengetahui bahaya yang mengancam kesehatan yang di sebabkan oleh adanya paparan pestisida di lingkungan kita pada umumnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pestisida

 Menurut Depkes RI (1990) Kata Pestisida berasal dari rangkaian kata pest yang berarti hama dan cida atau sida yang berarti membunuh. Dalam PP No 7 tahun 1973 yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut:
1.      Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
2.      Memberantas rerumputan.
3.      Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4.      Mengatur dan merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman (tidak termasuk golongan pupuk).
5.      Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak.
6.      Memberantas atau mencegah hama-hama air.
7.      Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan.
8.      Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia.

2.2 Klasifikasi Pestisida

Pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan sifatnya, targetnya/sasaran, cara kerjanya atau efek keracunan dan berdasarkan stuktur kimianya yaitu:

1.      Berdasarkan atas sifat pestisida dapat digolongkan menjadi : bentuk padat, bentuk cair, bentuk asap (aerosol), bentuk gas (fumigan).
2.      Berdasarkan organ targetnya/sasrannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Insektisida berfungsi untuk membunuh atau mengendalikan serangga
b.      Herbisida berfungsi untuk membunuh gulma
c.       Fungisida berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan
d.      Algasida berfungsi untuk membunuh alga
e.       Rodentisida berfungsi untuk membunuh binatang pengerat
f.       Akarisida berfungsi untuk membunuh tungau atau kutu
g.      Bakterisida berfungsi untuk membunuh atau melawan bakteri
h.      Moluskisida berfungsi untuk membunuh siput.

3.      Berdasarkan Cara Kerja atau efek keracunannya dapat digolongkan sebagai berikut:
a.       Racun kontak adalah membunuh sasarannya bila pestisida mengenai kulit hewan sasarannya.
b.      Racun perut adalah membunuh sasarannya bila pestisida tersebut termakan oleh hewan yang bersangkutan.
c.       Fumigan adalah senyawa kimia yang membunuh sasarannya melalui saluran pernafasan.
d.      Racun sistemik adalah pestisida dapat diisap oleh tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman itu sendiri di dalam batas waktu tertentu dapat membunuh serangga yang menghisap atau memakan tanaman tersebut.

4.       Berdasarkan stuktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi: golongan organoklorin, golongan organofhosfat, golongan karbamat, golongan piretroid.

a.     Golongan Organoklorin  Merupakan bagian dari kelas yang lebih luas dari halogenated hydrocarbon, termasuk diantaranya dan terkenal sebagai penyebab masalah yaitu Polyclorinated biphenyls dan dioxin. Sebagai kelompok, insektisida organoklorin merupakan racun terhadap susunan saraf (neurotoxins) yang merangsang sistem saraf baik pada serangga maupun mamalia, menyebabkan tremor dan kejang-kejang.

b.     Golongan Organofosfat Pestisida golongan organofosfat makin banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan bagi para petani. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resisten pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut dan juga racun pernapasan. Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan secara terus- menerus pada saraf. Keracunan ini dapat terjadi melalui mulut, inhalasi dan kulit.

c.      Golongan Carbamat Menurut Sartono (2002) pestisida golongan carbamat merupakan racun kontak, racun perut dan racun pernapasan. Bekerja sama seperti golongan organofosfat, yaitu menghambat aktivitas enzim kolinesterase. Jika terjadi keracunan yang di sebabkan oleh golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan organofosfat, tetapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten.

d.     Golongan Piretroid  Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang menunjukkan efikasi yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat toksik terhadap ikan, tawon madu dan serangga berguna lainnya. Bekerjanya terutama secara kontak dan tidak sistemik.

2.3 Patofisiologi


Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara kulit, Pertama absorpsi melalui kulit berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga mengakibatkan kematian. Ketiga melalui pernafasan dapat berupa bubuk, droplet atau uap dapat meyebabkan kerusakan serius pada hidung, tenggorokan jika terhisap cukup banyak.  Pestisida meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja sebagai berikut:
1.      Mempengaruhi kerja enzim/hormon. Enzim dan hormon terdiri dari protein komplek yang dalam kerjanya perlu adanya activator atau cofaktor yang biasanya berupa vitamin. Bahan racun yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida masuk dan berinteraksi dengan sel sehingga akan menghambat atau mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin dalam mengikat atau membawa oksigen.
2.      Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotine. Ini akan menimbulkan reaksi alergi, juga kadang-kadang akan terjadi senyawa baru yang lebih beracun.
3.      Fungsi detoksikasi hati (hepar). Pestisida yang masuk ketubuh akan mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi hati (hepar). Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh
.
2.4 Keracunan Pestisida dan Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia

1.      Keracunan Pestisida

Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
a.       Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.
b.      Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.
c.       Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Ada 4 macam pekerjaan yang dapat menimbulkan kontaminasi dalam penggunaan pestisida yakni :
a.       Membawa, menyimpan dan memindahkan konsentrat pestisida (Produk pestisida yang belum di encerkan).
b.      Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprotkan.
c.       Mengaplikasikan atau menyemprotkan pestisida.
d.      Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai.
Diantara keempat pekerjaan tersebut di atas yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah pekerjaan mengaplikasikan, terutama menyemprotkan pestisida. Namun yang paling berbahaya adalah pekerjaan mencampur pestisida. Saat mencampur, kita bekerja dengan konsentrat (pestisida dengan kadar tinggi), sedang saat menyemprot kita bekerja dengan pestisida yang sudah diencerkan.

2.      Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia

Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yakni: kontaminasi memalui kulit (dermal Contamination), terhisap masuk kedalam saluran pernafasan (inhalation) dan masuk melalui saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral).

a. Kontaminasi Melalui Kulit (dermal contamination)

Pestisida yang menempel di permukaan kulit bias meresap masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Risiko bahaya karena kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut:
1.      Toksitas dermal (dermal LD 50) pestisida yang bersangkutan maka makin rendah angka LD 50 makin berbahaya.
2.      Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, yaitu semakin pekat pestisida maka semakin besar bahayanya.
3.      Formulasi pestisida misalnya formulasi EC dan ULV atau formulasi cair lebih mudah diserap kulit dari pada formulasi butiran.
4.      Jenis atau bagian kulit yang terpapar yaitu mata misalnya mudah sekali meresapkan pestisida. Kulit punggung tangan lebih mudah meresapkan pestisida dari pada kulit telapak tangan.
5.      Luas kulit yang terpapar pestisida yaitu makin luas kulit yang terpapar makin besar risikonya.
6.      Kondisi fisik yang bersangkutan. Semakin lemah kondisi fisik seseorang, maka semakin tinggi risiko keracunannya.

Dalam penggunaanya atau aplikasi pestisida, pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit adalah:
a.       Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh droplet atau drift pestisidanya dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.
b.      Pencampuran pestisida
c.       Mencuci alat-alat pestisida.
b. Terhisap masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation)

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari fogging) dapat masuk kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya penghirupan pestisida lewat saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD 50 pestisida yang terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.

Pestisida berbentuk gas yang masuk ke dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Gas beracun yang terhisap ditentukan oleh:
a.       Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara
b.      Lamanya paparan
c.       Kondisi fisik seseorang (pengguna)

Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat saluran pernafasan adalah:
a.       Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur dan sebagainya) di ruangan tertutup atau yang ventilasinya buruk.
b.      Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas (misalnya fumigasi), aerosol serta fogging, terutama aplikasi di dalam ruangan; aplikasi pestisida berbentuk tepung (misalnya tepung hembus) mempunyai risiko tinggi.
c.       Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernafasan)
c. Masuk kedalam saluran pencernaan makanan melalui mulut (oral)

Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan dengan kontaminasi kulit. Karacunan lewat mulut dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1.      Kasus bunuh diri.
2.       Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida.
3.      Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.
4.      Drift (butiran halus) pestisida terbawa angin masuk ke mulut.
5.      Meniup kepala penyembur (nozzle) yang tersumbat dengan mulut, pembersihan nozzle dilakukan dengan bantuan pipa kecil.
6.      Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya diangkut atau disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau kemasan pestisida.
7.      Kecelakaan khusus, misalnya pestisida disimpan dalam bekas wadah makanan atau disimpan tanpa label sehingga salah ambil.

2.5  Diagnosis Keracunan Pestisida

Diagnosa keracunan pestisida yang tepat harus dilakukan lewat proses medis baku, kebanyakan harus dilakukan di laboratorium. Namun jika seseorang yang mula-mula sehat kemudian selama atau setelah bekerja dengan pestisida merasakan salah satu atau beberapa gejala keracunan pestisida diduga telah keracunan pestisida. Untuk pestisida yang bekerja dengan menghambat enzim cholinesterase (misalnya pestisida dari kelompok organofosfat dan carbamat), diagnosa gejala keracunan biasa dilakukan dengan uji (test) cholinesterase. Umumnya gejala keracunan organofosfat atau karbamat baru akan dilihat jika aktivitas kolinestrase darah menurun sampai 30%. Namun penurunan sampai 50% pada pengguna pstisida diambil sebagai batas, dan disarankan agar penderita menghentikan pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida.

2.6  Epidemiologi Keracunan Pestisida

Penelitian ini merupakan explanatory research dan dilakukan dengan metode survey cross sectional cross Sectional, dimana di jelaskan bahwa studi cross sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan. Pengertian studi Cross sectional adalah  meneliti suatu populasi referen yang dilakukan sewaktu-waktu atau periode waktu tertentu untuk mengetahui masalah kesehatan atau factor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya masalah kesehatan pada masyarakat.
Sampel

Eksposure (+/-)


Disease (+/-)

Kelebihan dan kekurangan studi cross sectional :
  1. Kelebihan:
1)      Mudah dilakukan dan relatif lebih murah dibandingkan studi kohort
2)      Dapat memberikan informasi mengenai frekuensi dan distribusi penyakit yang menimpa masyarakat, serta informasi mengenai faktor resiko atau karakteristik lain yang dapat menyebabkan kesakitan pada masyarakat.
3)      Dapat dipakai untuk mengetahui stadium dini atau kasus subklinis suatu penyakit, seperti pemeriksaan pap-smear pada kanker leher rahim.

2.      Kekurangan:

1.      Tidak dapat dipakai untuk meneliti penyakit yang terjadi secara akut dan cepat sembuh (durasi penyakit pendek)
2.      Tidak dapat menjelaskan apakah penyakit atau faktor resiko (pajanan) yang terjadi lebih dulu.
3.      Sering terjadi penyimpangan berupa bias observasi dan bias respon.


2.7  Distribusi dan Frekuensi Keracunan Pestisida

Epidemiologi keracunan Pestisida yaitu mempelajari frekuensi, distribusi keracunan Pestisida dan determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi keracunan Pestisida dapat dilihat berdasarkan 3 variabel yaitu variabel orang (Person), variabel Tempat (Place), dan variabel waktu (Time).

a.       Menurut Orang (Person)
Keracunan akibat pestisida sudah menjadi masalah seluruh dunia, dengan estimasi jumlah kasus per tahun sebesar 1-3 juta. Angka kematian beragam mulai dari 1% sampai 9% kasus yang datang berobat, dan bergantung pada ketersediaan antidot serta mutu layanan medis yang diberikan. Keracunan yang disengaja (terutama untuk upaya percobaan bunuh diri atau berhasil bunuh diri), proporsinya dalam kasus keracunan pestisida cukup besar di Negara tertentu. Pestisida mudah didapat di rumah tangga sehingga menjadikannya sebagai “metode kesukaan/pilihan” mereka yang berniat bunuh diri.

Mayoritas kasus keracunan pestisida yang tidak disengaja terjadi di kalangan petani dan keluarga mereka. Paparan terjadi terutama selama pencampuran atau penyemprotan pestisida, penyemprotan dengan pesawat atau memasuki wilayah yang disemprot. Paparan okupasional akut juga dapat terjadi selama pembuatan, formulasi, pengemasan, dan pendistribusian pestisida. efek akutnya yang berkaitan dengan paparan okupasional terhadap pestisida antara sensasi terbakar di mata yang terkena semprotan zat kimia, kerusakan kulit, efek neurologis, dan efek pada hati. Paparan kronis diduga menyebabkan masalah reproduksi dan memperbesar risiko terkena kanker, mengalami efek neurologis dan psikologis serta efek pada fungsi imun.

Banyak kasus keracunan pestisida yang terjadi pada anak-anak karena mereka berhasil menjangkau pestisida yang kemasannya terbuka yang disimpan di rumah. Kejadian keracunan massal akibat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi pestisida juga pernah terjadi dan menyebabkan banyak kematian. Berdasarkan hasil monitoring Departemen Kesehatan Republik Indonesia, proporsi keracunan pestisida berdasarkan kholinestrase darah tahun 1990 dengan tingkat keracunan berat 0,16%, sedang 3,32%, ringan 38,35% dan normal 58,17%. Tingkat keracunan pestisida pada petani berdasarkan hasil pemeriksaan kolinestrase darah pada tahun 1991 dengan proporsi keracunan berat 0,39%, sedang 10,64%, ringan 38,32%, dan keracunan normal 50,65%.

b.      Menurut Tempat (Place)
Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat baik di negara maju maupun Negara berkembang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan ada 1,5 juta kasus keracunan pestisida terjadi pada sektor pertanian. Sebagian besar kasus terjadi di Negara berkembang, yang 20.000 kasus diantaranya berakibat fatal.

c.       Menurut Waktu (Time)
Untuk mendapatkan gambaran jumlah korban keracunan pestisida di Indonesia secara akurat, sangat sulit. Karena belum adanya sistem pelaporan dan monitoring secara sistematik dan periodik. Apalagi dengan penerapan desentralisasi pembangunan kesehatan, sistem pelaporan sama sekali tidak berjalan, sehingga sulit mengetahui kondisi kesehatan nasional termasuk gambaran keracunan pestisida. Namun demikian, dengan menggunakan gambaran piramida dapat diketahui gambaran dampak (actual hazards) penggunaan pestisid sebagai berikut: pada tahun 1976 diperoleh 105 CFR 7,6%, tahun 1983 CFR 20-50%.

d.      Determinan Keracunan Pestisida

Menurut Achmadi (1983) ada beberapa Faktor yang mempengaruhi Keracunan pestisida antara lain:

·        Faktor Agent (Penyebab)
Proses terjadinya keracunan pestisida disebabkan adanya interaksi antara agent kimia atau Chemical Agent, manusia sebagai host dan faktor lingkungan yang mendukung (environment). Agent kimia (Chemical Agent) dihasilkan oleh aktifitas manusia dan mempunyai berbagai efek pada kesehatan. Paparan oleh factor lingkungan akan mengenai manusia (Host) yang peka atau kebal terhadap paparan dan akan memberikan suatu perubahan fungsi atau menyebabkan perubahan prepatologik.

·        Faktor Intrinsik (Penderita)
1.      Umur
Aktivitas kolinestrase berbeda antara anak-anak dan orang dewasa di atas 20 tahun, baik dalam keadaan terpapar pestisida organoposphat maupun selama bekerja dengan organofosfat. Usia di bawah 20 tahun dapat merupakan kontra indikasi bagi pekerja dengan organofosfat karena menurunkan aktivitas kolinestrase sehingga memperberat keracunan yang terjadi.
2.      Jenis Kelamin
Menurut Gallo dan Lawryk (1999) dari beberapa penelitian yang telah dilakukan aktivitas kolinestrase secara signifikan lebih tinggi pada pria di bandingkan dengan wanita. Aktivitas kolinestrase pada pria dan wanita dalam butir darah merah bervariasi (13,50%-15,60%) dan plasma darah (14,7%-26,80%) dengan menggunakan metode manometri. Pekerja wanita yang berhubungan dengan organofhosfat terutama dalam keadaan hamil akan mempunyai aktivitas kolinestrase yang lebih rendah. Beberapa penelitian menemukan hubungan pestisida sebagai pencetus timbulnya kanker, tingkat kesuburan menurun dan gangguan dari terhadap sistem kekebalan tubuh.

3.      Pendidikan
Permasalahan penggunaan pestisida menurut Achmadi (1983) bertumpu pada dua hal yaitu kuantitas jumlah petani yang sangat besar dan secara kualitas kurang memadai karena faktor pendidikan yang umumnya rendah sehingga tidak jarang petani tidak membaca petunjuk pengunaan pestisida. Selain itu kurang disosialisasikan penggunaan pestisida yang benar, sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap dampak pestisida masih sangat rendah.

·        Faktor Ekstrinsik
1.      Jangka waktu atau lamanya terpapar pestisida
Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi resiko pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa penggunaan pestisida secara berlama-lama untuk pertanian dapat menyebabkan kanker seperti non Hodgkin's lymphoma.
2.      Dosis Pestisida
Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida umtuk menyemprot petani hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk menegendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan satu kali aplikasi atau lebih.

Dosis pestisida ditentukan oleh produsen atau lembaga penelitian yang berwenang setelah melalui penelitian yang mendalam dan harus ditaati oleh pengguna pestisida. namun kenyataanya di lapangan, dosis biasa disesuaikan menurut keadaan. Dosis aplikasi umumnya diberi dalam satu kisaran (range) yaitu 1-1,5 liter/ha dan konsentrasinya 1,5-2 ml/liter air. Berdasarkan hasil penelitian Silaban (2005) Ada hubungan dosis teradap kejadian keracuanan pestisida. Hal ini dapat dijelaskan karena petani ingin mendapatkan hasil yang cepat dalam memberantas dan pertumbuhan tanaman, sehingga melakukan peracikan dengan menambahkan dosis yang telah ditetapkan. Penambahan dosis menjadi lebih pekat jika terhirup melalui inhalasi dapat beresiko terhadap kesehatan dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan seperti tanah dan air.

3.      Kebersihan Perorangan (Personal Higiene)
Kebersihan perorangan (Personal higiene) ditujukan untuk menjaga kebersihan badan dan mencegah material berbahaya menempel untuk waktu yang lama dan diserap oleh kulit. Sama bahayanya dengan menghisap atau memakan bahan kimia dalam jumlah kecil yang dapat menggangu kesehatan.

4.      Alat Pelindung Diri (APD)
Pada petani membasmi hama melalui penyemprotan dengan pestisida, tetapi pelaksanaan penyemprotan tidak dilaksanakan menurut ketentuan atau petunjuk, artinya sewaktu menyemprot tidak memakai pengaman secara sempurna seperti masker, topi, sepatu khusus, mantel, sarung tangan, sehingga dapat menyebabkan keracunan pestisida dalam halnya petani.

Berdasarkan hasil penelitian Silaban di Kabupaten Simalungun (2005) dengan desain kasus control, berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukkan ada hubungan antara pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) terhadap keracunan pestisida (p=0,000, OR=5,3) artinya bahwa petani yang mengalami keracunan pestisida kemungkinan 5,3 kali tidak memakai APD dibandingkan dengan petani yang tidak mengalami keracunan.


2.8  Pencegahan Keracunan Pestisida

1.       Pencegahan Tingkat Pertama (Primary prevention)
Setiap orang yang dalam pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida seperti petani penyemprot, harus mengenali dengan baik gejala dan tanda keracunan pestisida. Tindakan pencegahan lebih penting daripada pengobatan. Sebagai upaya pencegahan terjadinya keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut:



a.        Memilih Pestisida
Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat penting dalam penggunaan pestisida. Formulasi pestisida yang bagainana yang harus kita pilih, apakah cairan, butiran, atau bentuk lainnya. Kalau dilihat dari bahaya pelayangan di udara, pestisida berbentuk butiran paling sedikit kemungkinannya untuk melayang. Pestisida yang berbentuk cairan, bahaya pelayangannya lebih kecil jika dibandingkan dengan pestisida berbentuk tepung.  Disamping itu pertimbangan lain dalam memilih formulasi pestisida adalah alat yang akan digunakan untuk menyebarkan pestisida tersebut. Bila kita memiliki alat penyemprot tentunya kita lebih tepat menggunakan pestisida berbentuk cairan Emulsible Concentrate (EC), Wettable Powder (WP), atau Soluble Powder (SP). Apabila tidak ada alat sama sekali, kita pilih pestisida yang berbentuk butiran.

b.       Alat Yang Digunakan dalam Aplikasi Pestisida
Menurut Wudianto (2007) alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida tergantung formulasi yang digunakan. Pestisida yang berbentuk butiran (granula) untuk menyebarkan tidak membutuhkan alat khusus, cukup dengan ember atau alat lainnya yang bisa digunakan untuk menampung pestisida tersebut dan sarung tangan agar tangan tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Pestisida berwujud cairan Emulsible Concentrate (EC) atau bentuk tepung yang dilarutkan Wettable Powder (WP) atau Soluble Powder (SP) memerlukan alat penyemprot untuk menyebarkan. Sedangkan pestisida yang berbentuk tepung hembus bisa digunakan alat penghembus. Pestisida berbentuk fumigant dapat diaplikasikan dengan alat penyuntik pohon kelapa untuk jenis insektisida yang digunakan memberantas penggerek batang.  Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu penyemprot gendong, pengabut bermotor tipe gendong (Power Mist Blower and Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan jenis penyemprot lainnya. Penggunaan alat penyemprot ini disesuaikan dengan kebutuhan terutama yang berkaitan dengan luas areal pertanian sehingga pemakaian pestisida menjadi efektif.

c.       Teknik dan Cara Aplikasi

Teknik dan cara aplikasi ini sangat penting diketahui oleh pengguna pestisida, terutama untuk menghindarkan bahaya pemaparan pestisida terhadap tubunya, orang lain dan lingkungannya. Ada beberapa petunjuk dan teknik serta cara aplikasi pestisida yang diberikan oleh pemerintah yaitu:
1.      Gunakanlah pestisida yang telah terdaftar dan memperoleh izin dari menteri Pertanian R.I Jangan sekali-sekali menggunakan pestisida yang belum terdaftar dan memperoleh izin.
2.      Pilihlah pestisida yang sesuai dengan hama atau penyakit tanaman serta jasad sasaran lainnya yang akan dikendalikan, dengan cara lebih dahulu membaca keterangan kegunaan pestisida dalam label pada wadah pestisida.
3.      Belilah pestisida dalam wadah asli yang tertutup rapat dan tidak bocor juga tidak rusak, dengan label asli yang berisi keterangan lengkap dan jelas, jangan membeli dan menggunakan pestisida dengan label dalam bahasa asing.
4.      Bacalah semua petunjuk yang tercantum pada label pestisida sebelum bekerja dengan pestisida itu.
5.      Lakukanlah penakaran, pengenceran atau pencampuran pestisida di tempat terbuka atau dalam ruangan dalam ventilasi baik.
6.      Pakailah sarung tangan dan gunakanlah wadah, alat pengaduk dan alat penakar khusus untuk pestisida.
7.      Gunakanlah pestisida sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan takaran yang berlebihan atau kurang karena dapat mengurangi keefektifannya.
8.      Periksalah alat penyemprot dan usahakanlah supaya dalam keadaan baik, bersih dan tidak bocor.
9.      Hindarkanlah pestisida terhirup melalui pernafasan atau terkena kulit, mata, mulut dan pakaian.
10.  Apabila ada luka pada kulit, tutuplah luka tersebut dengan baik sebelum bekerja dengan perban. Pestisida lebih mudah terserap melalui kulit yang terluka.
11.  Selama menyemprot pakailah alat pengaman, berupa masker penutup hidung dan mulut, sarung tangan, sepatu boot, dan jaket atau baju berlengan panjang.
12.  Jangan menyemprot melawanan dengan arah angin.
13.  Waktu yang baik untuk penyemprotan adalah pada waktu terjadi aliran udara naik (thermik) yaitu antara pukul 08.00-11 WIB atau sore hari pukul 15-18.00 WIB. Penyemprotan terlalu pagi atau terlalu sore mengakibatkan pestisida yang menempel pada bagian tanaman akan terlalu lama mengering mengakibatkan tanaman yang disemprot keracunan.
14.  Peyemprot segera mandi dengan bersih menggunakan sabun dan pakaian yang digunakan segera dicuci.
15.  Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan penyemprotan.
16.  Alat penyemprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan. Air bekas cucian sebaiknya dibuang ke lokasi yang jauh dari sumber air dan sungai.

d.      Tempat menyimpan Pestisida
Tempat menyimpan pestisida biasa berupa almari atau peti khusus atau biasa juga ruangan khusus yang tidak mudah dijangkau anak-anak atau hewan piaraan. Bila perlu tempat penyimpanan ini dikunci kemudian letakkan tempat penyimpanan ini jauh dari tempat bahan makanan, minuman, dan sumber api. Peletakan pestisida tidak dianjurkan di gudang bahan makanan.  Usahakan tempat pestisida mempunyai ventilasi yang cukup, tidak terkena matahari langsung, dan tidak terkena air hujan agar pestisida tidak rusak.

e.        Mengelola wadah Pestisida
Pestisida harus tetap tersimpan dalam wadah atau bungkus aslinya yang memuat label atau keterangan mengenai penggunaannya. Dengan demikian bila ata keracunan akan digunakan lagi petujukya masih jelas. Wadah tidak bocor dan tertutup rapat. Bila terkena uap air atau zat asam, pestisida bias rusak dan tidak efektif lagi. Pindahkan isi bila wadah bocor ke tempat yang merek dagangnya sama dengan petunjuk yang masih jelas. Bila tidak ada, pindahkan ke tempat lain yang tertutup rapat dengan menuliskan keterangan mengenai merek dagangnya, bahan aktifnya, kegunaannya, dan cara penggunaanya. Wadah pestisida yang sudah tidak berguna dirusak agar tidak dimanfaatkan untuk keperluan lain atau dengan cara mengubur wadah tersebut jauh dari sumber air. \

2.       Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
 Dalam penanggulangan keracunan pestisida penting dilakukan untuk kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan penderita dari kematian yang disebabkan oleh keracunan akut. Adapun penanggulangan keracunan pestisida adalah sebagai berikut:

a.       Organofosfat, bila penderita tak bernafas segara beri nafas buatan , bila racun terlelan lakukan pencucian lambung dengan air, bila kontaminasi dari kulit, cuci dengan sabun dan air selama 15 menit. Bila ada berikan antidot: pralidoxime(Contrathion). Pengobatan keracunan organofosfat harus cepat dilakukan. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa menit akan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan berdasarkan terjadinya gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling berhubungan. Pada keracunan yang berat, pseudokholinesterase dan aktifits erytrocyt kholinesterase harus diukur  dan bila kandungannya jauh dibawah normal, keracunan mesti terjadi dan gejala segera timbul. Beri atropine 2mg iv/sc tiap sepuluh menit sampai terlihat atropinisasi yaitu: muka kemerahan, pupil dilatasi, denyut nadi meningkat sampai 140 x/menit. Ulangi pemberian atropin bila gejala-gejala keracunan timbul kembali. Awasi penderita selama 48 jam dimana diharapkan sudah ada recovery yang komplit dan gejala tidak timbul kembali. Kejang dapat diatasi dengan pemberian diazepam 5 mg iv, jangan diberikan barbiturat atau sedativ yang lain.
b.      Carbamat, penderita yang gelisah harus ditenangkan, recoverery akan terjadi dengan cepat. Bila keracunan hebat, beri atropin 2 mg oral/sc dosis tunggal dan tak perlu diberikan obat-obat lain.

3.      Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Upaya yang dilakukan pada pencegahan keracunan pestisida adalah:
1.      Hentikan paparan dengan memindahkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian korban dan cuci/mandikan korban.
2.       Jika terjadi kesulitan pernafasan maka korban diberi pernafasan buatan. Korban diinstruksikan agar tetap tenang. Dampak serius tidak terjadi segera, ada waktu untuk menolong korban.
3.      Korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat. Berikan informasi tentang pestisida yang memepari korban dengan membawa label kemasan pestisida.
4.      Keluarga seharusnya diberi pengetahuan/penyuluhan tentang tentang pestisida sehingga jika terjadi keracunan maka keluarga dapat memberikan pertolongan pertama.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan

Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot disebabkan oleh beberapa factor determinan, yaitu perilaku (pengetahuan, sikap dan praktek) petani penyemprot, frekuensi penyemprotan, selang waktu kontak penyemprotan, pemakaian alat pelindung diri, dosis pestisida dan lama penyemprotan. Kejadian paparan pestisida pada petani penyemprotan dapat diketahui melalui pengukuran kadar kolinesterase darah.
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor determinan di atas terhadap kejadian paparan pestisida pada petani penyemprot. Penelitian ini merupakan explanatory research dan dilakukan dengan metode survey cross sectional.
 Menurut Depkes RI (1990) Kata Pestisida berasal dari rangkaian kata pest yang berarti hama dan cida atau sida yang berarti membunuh. Dalam PP No 7 tahun 1973 yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan.
Pestisida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara kulit, Pertama absorpsi melalui kulit berlangsung terus selama pestisida masih ada dikulit. Kedua melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga mengakibatkan kematian. Ketiga melalui pernafasan dapat berupa bubuk, droplet atau uap dapat meyebabkan kerusakan serius pada hidung, tenggorokan jika terhisap cukup banyak.
Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Penggunaan pestisida dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
a.    Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit dan diare.
b.   Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat, pingsan.
c.    Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.
Epidemiologi keracunan Pestisida yaitu mempelajari frekuensi, distribusi keracunan Pestisida dan determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam distribusi keracunan Pestisida dapat dilihat berdasarkan 3 variabel yaitu variabel orang (Person), variabel Tempat (Place), dan variabel waktu (Time).

3.2  Saran

Melalui makalah ini kami berharap agar pembaca senantisa memperhatikan bahaya-bahaya yang ada di sekeliling lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan tempat kerja. Contohnya saja mengetahui penyebab dari factor resiko yang disebabkan oleh paparan pestisida yang dapat mempengaruhi kesehatan kita. Serta mengetahui penyakit yang bisa ditimbul karena terpapar pestisida yang berlebihan.
DAFTAR PÚTAKA

1.      Djojosumarto P. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius.Yoagyakarta.2008.
2.       Leeuwen CJ and Hermens JLM. Risk Assessment Of Chemicals. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. 1995.
3.       Achmadi, Umar Fahmi, 1985. Aspek Kesehatan Kerja Pengguna Pestisida pada Sektor Informal, Depkes RI, Jakarta
4.       Afriyanto, Nurjazuli, Budiyono, 2009 Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, Fakultas Pertanian Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Keracunan Pestisida pada Petani Vol.8 No.1
5.      Darmono 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI-Press, Jakarta.
6.      Depkes RI, 1989. Pemeriksaan Cholinesterase Darah dengan Tintometer, Ditjen PPM & PLP, Jakarta
7.      Notoadmodjo, Soekidjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
8.      PanAP, 2001. “Awas Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan.” Ronald Macfarlane (Editor). Pesticide Action Network Asia and Pasifik.
9.      Pandit, Gde Suranaya. 2006, Resiko Pemakaian Pestisida Pada Pertanian Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Jurnal Lingkungan & Pembangunan Wicaksana No.15.
10.  PAN- Indonesia, 2001: Teropong Masalah Pestisida, Edisi IV Jakarta : Pesticide Action Network. Majalah Terompet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar